
Nama : SOEHARTO
Lahir : Kemusuk, Argamulya, Yogyakarta, 8 Juni 1921
Agama : Islam
Pendidikan : - SD, Yogyakarta, Wuryantoro, dan Solo
- SMP dan Sekolah Agama, Wonogiri dan Yogyakarta (1935-1939)
- Sekolah Bintara KNIL, Gombong (1941)
- SSKAD, Bandung (1959-1960)
Karir : - Dan Yon Brigade "O" (1945-1950)
- Komandan Brigade Pragola Sub Teritorium IV Jawa Tengah (1953)
- Komandan Resimen Infanteri 15 (1953)
- Kepala Staf Teritorium IV Divisi Diponegoro (1956)
- Deputi I Kasad (1960)
- Ketua Komite Ad Hoc Retooling TNI-AD (1960)
- Atase Militer RI di Beograd, Paris, dan Bonn (1961)
- Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat (1962) ; Panglima Kostrad (1963-1965)
- Pimpinan Sementara TNI-AD (1965)
- Panglima TNI-AD (1966)
- Ketua Presidium Kabinet Ampera (1966)
- Penjabat Presiden RI (1967)
- Presiden RI (1967-sekarang)
Alamat Rumah : Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat
Alamat Kantor : Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat
|
|
SOEHARTO
Menjelang akhir masa jabatannya yang ketiga, Presiden Soeharto malah bertambah sibuk. Urusan negara, dan situasi dunia yang bertambah pelik, hampir tidak memberi kesempatan beristirahat bagi jenderal purnawirawan dan penegak Orde Baru ini. Tetapi, sebaliknya, ia juga tetap tampak tenang, lembut, penuh pertimbangan, dan selalu berhasil memasang senyum.
Sejarah mengantar anak dari Dukuh Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, ini ke suatu latar yang tidak lagi bisa dielakkannya. Ia, mau tidak mau, akhirnya menjadi tonggak dalam suatu perjalanan panjang sebuah bangsa. Pada dinihari 1 Oktober 1965 yang menggetarkan itu, tidak banyak yang berani tampil melawan arus merah dan berdarah, ketika PKI dan bala kurawanya menebarkan maut dan mengacungkan ancaman. Soeharto termasuk satu di antara yang sangat sedikit. Dan ia berdiri langsung di depan.
Di tengah gemuruh demonstrasi dan arus balik yang tidak kalah dahsyatnya, Soeharto juga tidak kehilangan kendali. Ia, secara tegas, memilih jalan konstitusional. Di masa yang sulit itu, lebih dari sekali ia tetap menyatakan ketaatannya kepada Presiden Soekarno, orang yang kelak digantikannya. Barulah setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) turun, Soeharto membubarkan PKI. Sejak saat itu, setapak demi setapak, ke pundaknya dipikulkan tanggung jawab yang makin berat. Pada 1968, ia secara resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tidak banyak yang menonjol dari masa kecil anak tunggal pasangan Almarhumah Sukirah dan Almarhum Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro ini. "Ia tidak nakal, dan selalu mengalah bila ada pertengkaran," ujar seorang bekas sahabat sepermainannya. Dalam sejarah Indonesia merdeka, dialah contoh pertama bagaimana seorang anak desa bisa mencapai posisi puncak dalam Republik. Tanpa lambang-lambang, tanpa "isyarat alam" -- tanpa mitos.
Lepas dari riuh-rendah "kiprah revolusioner" dan "konfrontasi" peninggalan Orde Lama, Soeharto dengan tepat melayani kebutuhan zamannya yang menuntut gerak yang lebih tertib. Ucapan dan tindakannya tidak pernah mengejutkan. Pidatonya datar, nyaris membosankan. Tetapi, selalu diucapkan dengan penuh kesungguhan, dan tidak berbunga-bunga.
Di bawah Soeharto, Indonesia menyaksikan masa yang lain. Pembangunan menghasilkan banyak hal dalam skala yang belum pernah ditempuh negeri ini. Tidak ada ancaman yang berarti terhadap kesatuan bangsa. Seorang profesor Amerika yang rajin mengamati Indonesia mengatakan, "Proses nation building memang telah berjalan di Indonesia sejak masa pergerakan nasional, tetapi proses state building baru dilakukan dengan saksama oleh Orde Baru."
Soeharto tidak pernah malu mengakui asal usulnya yang desa. Ketika seorang wartawan bertanya, apa yang mendorong ia dulu masuk tentara, Soeharto menjawab datar, "Karena ingin melihat daerah lain, juga karena setamat dari SMP Muhammadiyah, saya menganggur."
Masa kecilnya tidak gemilang. Orangtuanya berpisah ketika ia belum berusia 40 hari. Beranjak besar, anak ini suka bermain di sawah, dan cekatan menangkap belut. Pada usia sembilan tahun ia pindah ke Wuryantoro, Wonogiri, dititipkan pada bibinya dari pihak ayah, Ny. Prawirowihardjo, istri mantri pertanian di Wuryantoro, orangtua pengusaha terkenal Sudwikatmono. Di sinilah Soeharto menamatkan SD. Di sekolah yang sama, belajar pula Siti Hartinah, putri Sumoharjomo, wedana Wuryantoro. Pasangan ini menikah, 26 Desember 1947. Putri sang wedana dua tahun lebih muda.
Konon, pada mulanya Soeharto sangsi melamar, kendati ketika itu ia sudah menyandang pangkat letnan kolonel. Kepada bibinya ia bertanya, "Tapi, Bu, apakah orangtuanya akan setuju? Saya orang kampung biasa, dia ningrat, putri kerabat Mangkunegaran."
Ibu Tien sendiri menyimpan kenangan khusus tentang hari itu. "Waktu Pak Harto dengan ibu-ibunya datang ke rumah untuk upacara 'nontoni', saya baru saja sembuh dari sakit sebulan," tutur Ibu Negara itu, mengenang. "Saya menjadi agak kurus dan kekuning-kuningan. Mungkin karena itu Pak Harto tertarik."
Kariernya sebagai tentara bermula di Sekolah Militer di Gombong, 1940. Di sini ia menjadi prajurit teladan, dan dalam waktu singkat naik pangkat menjadi sersan. Tatkala Jepang mendarat di Pulau Jawa, Soeharto dan teman-temannya menyingkir dari KNIL, pulang ke kampung masing-masing.
Di zaman Jepang, ia mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Keibuho, Pasukan Kepolisian Jepang. Atas nasihat atasannya, seorang Jepang, Soeharto kemudian pindah ke Peta. Di sini ia mencapai pangkat shodancho -- komandan peleton.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Soeharto bergabung ke dalam TNI. Ia pernah mengawal Panglima Besar Soedirman, dan menjadi komandan berbagai tingkat kesatuan. Bergerilya melawan Aksi Militer Belanda ke-2, dialah yang memimpin Serangan Umum 1 Maret, 1949, yang terkenal itu. Kisah ini diabadikan dalam setidaknya tiga film Indonesia: Enam Jam di Yogya, Janur Kuning, dan Serangan Fajar.
Sejak pertama kali dilantik menjadi Presiden RI, Soeharto enggan pindah ke Istana Merdeka, dan tetap bertahan di rumah pribadinya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Bila bertemu dengan para tamu asing, ia selalu didampingi penerjemah. Padahal, "Ia lancar berbahasa Inggris," tutur seorang wartawan yang berkali-kali mengikuti lawatan Presiden RI itu ke manca negara.
Toh, dengan segala kesederhanaannya, Pak Harto tidak kehilangan pamor di negeri orang. Oktober 1985, misalnya, ia mengesankan tuan rumahnya di tiga negara: Turki, Rumania, dan Hungaria. Tentang negeri terakhir ini, Pak Harto bahkan sempat bergurau, "Di Hungaria ada sosialisme, dan orang masih bisa ketawa."
Ayah enam anak -- dan kakek beberapa cucu -- ini dikenal akrab dengan keluarganya. Ia pintar menghemat, dan cepat menghafal angka. Mungkin berkat pengalamannya sebagai magang sebuah bank kecil di Wuryantoro, di masa muda. Hari-hari sibuknya diselingi dengan bermain golf, memancing, atau bertamasya ke Pulau Seribu. Belakangan, ia juga senang beristirahat di peternakan keluarga, beberapa kilometer di luar Jakarta. Di situ, anak ulu-ulu (juru air) ini tidak canggung menanam jagung, atau memerah susu.
Ia tidak suka pesta, juga kurang menyenangi jamuan makan malam resmi yang berlebihan bila berada di luar negeri. Ulang tahun di kalangan keluarganya selalu dirayakan di rumah, dengan tumpeng sekadarnya, dan mengundang hanya beberapa kerabat dan sahabat dekat.
Soeharto juga tidak suka didesak-desak, atau diangkat-angkat. Ketika, Mei 1981, ramai usul untuk menyatakan dia sebagai "Bapak Pembangunan Indonesia", Soeharto malah menanggapinya dengan tawar. Ia, kemudian, bahkan melarang penjualan Lencana Bapak Pembangunan, yang mulai diedarkan sejak 1 Oktober 1982 -- mendahului Sidang Umum MPR 1983. Soeharto menganggap tindakan itu, "Tidak memberikan bimbingan ke arah proses demokrasi yang sehat."
Tiba-tiba, April 1986, organisasi pangan dan pertanian sedunia (FAO) mengusulkan pembuatan medali emas, perak, dan perunggu, yang sebelah sisinya bergambar wajah Pak Harto. Medali ini dikeluarkan sebagai penghargaan FAO atas keberhasilan Indonesia, di bawah pimpinan Presiden Soeharto, di bidang pertanian, khususnya dalam mencapai swasembada pangan. Tahun sebelumnya, Soeharto menyampaikan pidato khusus di depan lembaga ini, di Roma, Italia, seraya menyerahkan sumbangan 100 ribu ton gabah dari Indonesia untuk Etiopia yang ditimpa kelaparan. Terhadap usul FAO mengenai medali ini pun, Soeharto tidak serta-merta memberikan isyarat persetujuan.
Soeharto, yang tidak henti-hentinya berbicara tentang asas Pancasila dan kerukunan serta persatuan bangsa, tidak bisa dibantah telah mewariskan sebuah bab yang tidak terlupakan dalam perjalanan sejarah bangsa. Padahal, konon, ketika akan dilantik untuk pertama kalinya sebagai presiden, dahulu, ia sama sekali tidak mempunyai ambisi. Ia bahkan bertanya, "Apakah saya bisa menjadi presiden?"
|