Nama : BAMBANG HIDAYAT
Lahir : Kudus, Jawa Tengah, 18 September 1934
Agama : Islam
Pendidikan : -SD, Salatiga (1947)
-SMP, Semarang (1950)
-SMA, Semarang (1953)
-ITB, Bandung (1960)
-Case Institute of Technology, Cleveland Ohio AS (doktor 1965) --
Karir : -Asisten Mahasiswa Departemen Astronomi ITB (1954)
-Asisten Luar Biasa ITB (1957) Asisten Ahli ITB (1961)
-Lektor Muda Astronomi ITB (1969)
-Lektor Astronomi ITB (1971)
-Lektor Kepala Astronomi ITB (1973)
-Guru Besar Astronomi ITB (1976)
-Sekretaris Senat Guru Besar ITB (sejak 1972)
-Visiting Professor, Univ. of Melbourne (1976)
-Visiting Professor, University of Kyoto, Jepang (1978-1979)
-Direktur Observatorium Bosscha ITB (1979-sekarang)
Kegiatan Lain : -Anggota American Astronomical Society
-Anggota International Astronomical Union
-Ketua Himpunan Astronomi Indonesia.
Karya : -Matahari dan Planet, Benda Kecil dalam Tata Surya dan Pengikut Planet
-Bulan dan Satelit Bersama dengan Dr. W. Sutantyo, Drs. Djoni Dawanas, Penerbit Widjaya, 1977
-Alam Semesta, terjemahan, PT Tigarasa, 1978
-Stars and Planet, 1979
Alamat Rumah : Kompleks Observatorium Bosscha Lembang, Bandung Telp.: Lembang I
Alamat Kantor : Kampus ITB Bandung Telp.: 83047 ext 007
|
|
BAMBANG HIDAYAT
Bambang Hidayat dan Teropong Bintang Bosscha hampir tidak terpisahkan. "Saya mencintai pekerjaan saya. Karena bisa menikmati kesibukan setiap hati, saya tidak pernah merasa kesepian," ujar satu-satunya profesor astronomi Indonesia itu. Padahal letak Observatorium Bosscha di Lembang terpencil 1.300 meter dari permukaan laut, atau 700 meter di atas Bandung.
Di sanalah ia bersama istrinya, Dr. Estiti Harti Soedjono, Lektor Kepala Departemen Biologi ITB, dan dua anaknya, menetap sambil terus meneliti lewat teropong bintang satu-satunya di Asia itu. "Supaya ilmu itu tetap berkembang, orang tidak boleh hanya mengajar. Tetapi juga harus melakukan studi dan penelitian," kata Bambang, guru besar Departemen Astronomi ITB, yang menghabiskan 200 malam dalam setahun untuk meneropong bintang.
Cepuk, begitu anak pensiunan Bupati Demak ini biasa dipanggil di masa kecilnya, mengaku sudah mengagumi keindahan bintang- bintang sejak masa kanaknya. Malah, konon, sempat mempertanyakan mengapa bintang-bintang berkelap-kelip, dan bagaimana terjadinya meteor dan benda angkasa lainnya. Maka, begitu menamatkan SMA, si sulung delapan bersaudara kelahiran Kudus, Jawa Tengah, itu langsung meneruskan sekolahnya di Jurusan Astronomi FMIPA-UI (sekarang ITB), rampung 1961. Gelar doktor astronomi diraihnya di Case Institute of Technology, Ohio, AS, empat tahun kemudian. Pendalaman ilmiah dilakukannya di Universitas California, AS, dan Universitas Amsterdam, Negeri Belanda.Astronom yang jarang tidur siang ini terlihat paling sibuk ketika terjadi gerhana matahari total di Indonesia, Juni 1983. Sambil tetap mengajar dan meneliti, ia, selaku Wakil Ketua Panitia Nasional Gerhana Matahari total 1983, juga harus membantu para tamu ahli luar negeri, di samping menentukan tempat yang menguntungkan untuk melakukan pengamatan.
Yang cukup rumit, "Menghadapi ahli dalam negeri," ujar pria "asli Indonesia" yang bermata sipit dan berkulit kuning itu. "Mereka mau enaknya saja, melarang penduduk melihat gerhana," tambahnya. Padahal, menurut Bambang, yang harus dilakukan, bagaimana agar rakyat melakukan pengamatan dengan aman.
Empat kali Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan astronomi regional Asia-Pasifik, antara 1982 dan 1983, menurut Bambang merupakan bukti kepercayaan dunia kepada ahli astronomi Indonesia. "Orang Jepang saja belajar di sini," katanya tentang Teropong Bintang Bosscha yang dianggapnya harta tidak ternilai. Karena itu, ia sempat risau akan semakin gersangnya kawasan Lembang oleh tumbuhnya bangunan-bangunan baru. Lingkungan hijau menurut dia, sangat penting bagi aktivitas peneropongan.
Penerima Hadiah Penghargaan Ilmu Pengetahuan dari Presidan RI, 1977, ini gemar membaca novel. Sehari-hari Bambang gemar memotret. Ia gemar main sepak bola, dan pernah menjadi penjaga gawang Galados -- kesebelasan dosen ITB.
|