Nama : Dorothea Rosa Herliany
Lahir : Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963
Pendidikan : Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (1987)
Karir : - Guru SMA Gama Yogyakarta
- Penyair, Puisi-puisinya dimuat di berbagai media massa antara lain Media Indonesia, Kalam, Horison, dan Kompas;
Antologi tunggalnya : Nyanyian Gaduh (1987), Nikah Ilalang (1995), Kill the Radio: Sebuah Radio Kumatikan (2001)
- Memimpin Indonesia Tera Magelang, yayasan penerbitan dan dokumentasi kebudayaan (1997-sekarang)
Keluarga : Ayah : A. Wim Sugito
Ibu : A. Louisye
Suami : Andreas Darmanto
Anak : Dua orang
Alamat Rumah : Jalan Meliwis 72, Perum Gria Reja Indah, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah
|
|
Dorothea Rosa Herliany
WAKTU kecil Dorothea Rosa Herliany bercita-cita menjadi psikolog. Tapi, lama-kelamaan keinginan itu memudar €“yang ia tak tahu sebabnya. Sementara itu, orangtuanya menginginkan anak keempat dari enam bersaudara ini bekerja sebagai pegawai negeri yang mempunyai gaji dan jam kerja yang jelas. Harapan ayahbundanya tak terkabul, karena Rosa€”demikian panggilannya€”memilih menjadi penyair.
Sebagai penyair, Rosa sudah menerbitkan tiga antologi puisi tunggal dan baru saja melawat ke beberapa negara Eropa dan Jepang. Andaikan jadi pegawai negeri, katanya, €œMungkin kesempatan seperti itu tidak pernah ada dalam hidup saya.€
Sejak kecil Rosa suka membaca, meski ia bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku yang di negeri ini cukup mahal. Ayahnya, A. Wim Sugito, pegawai negeri sipil di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Ibunya, A. Louisye, ibu rumah tangga biasa. Kebiasaan membaca itu karena sering main ke rumah tetangganya yang mempunyai banyak buku dan majalah.
€œDari sering membaca kemudian muncullah kemampuan untuk membuat cerita atau puisi,€ ujar Rosa. Tulisan pertamanya, berbentuk opini, dimuat di majalah Hai, ketika ia masih di SMP. €œSejak saat itu semangat saya untuk menulis terus menggebu,€ kenangnya.
Apalagi di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, tempat Rosa kuliah, sering dilangsungkan berbagai lomba penulisan, latihan mengarang, atau melakukan jenis kegiatan bersifat pengemukaan ekspresi lainnya. Ini membuat Rosa semakin terpacu menulis di media. Kala itu puisi-puisinya muncul di Sinar Harapan, Suara Pembaruan. €œWaktu itu senangnya bukan main karena itu bagi saya hal yang luar biasa,€ tutur pengagum penyair dan penulis Sapardi Djoko Darmono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini.
€œSaya menulis puisi secara spontan. Saya tidak pernah memilih kata-kata yang akan dipakai bagi puisi saya. Kata-kata dalam puisi saya menggunakan kata-kata seram, kasar, berani bahkan keras. Kata-kata itu mewakili diri saya,€ tutur Rosa tentang caranya menulis puisi. €œPuisi saya mengalami pergeseran yang menarik. Di tengah ribuan puisi yang sibuk dengan komentar sosial yang keras, puisi saya malah berupaya membebaskan diri dari bayang-bayang yang telah diciptakan,€ ujarnya lagi.
Rosa sempat beberapa tahun menjadi guru di SMA Gama Yogyakarta, dan ia menikmati profesi pendidik. Tapi, akhirnya ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan.
Bersama suaminya, Andreas Darmanto--teman kuliah yang juga bergelut di bidang penulisan-- sejak 1997 ia mengelola Indonesia Tera. Ini yayasan yang bergerak di bidang penerbitan dan dokumentasi kebudayaan. €œSaya merasa sangat beruntung karena suami mendukung karir saya,€ kata ibu dua anak ini. Rosa membiasakan anak-anaknya mencintai buku sejak kecil. Walau sibuk, Rosa menyempatkan diri mendongengi anak- anaknya. €œSebelum tidur, saya selalu mendongeng. Terus sekarang gantian mereka yang mendongeng untuk saya dan ceritera mereka lebih seru,€ ucapnya, tertawa.
|