
Nama : K.H. MOHAMAD ACHMAD SIDDIQ
Lahir : Jember, Jawa Timur, 24 Januari 1926
Agama : Islam
Pendidikan : - SD
Karir : - Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Situbondo
- Kepala KUA Bondowoso
- Sekretaris Menteri Agama (1949-1952)
- Anggota DPR (1955-1957 dan 1971)
- Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur (sampai 1971)
- Pimpinan Pondok Pesantren Asidiqiyah, Jember (1977-sekarang)
- Rais Am Syuriah (Ketua Umum Hukum Agama)
- PB Nahdatul Ulama (1985-sekarang)
Alamat Rumah : Pondok Pesantren Asidiqiyah, Jember, Jawa Timur
|
|
K.H. MOHAMAD ACHMAD SIDDIQ
Pada hari pertama Munas Nadhatul Ulama (NU), 18w20 Desember 1983 di Situbondo, Jawa Timur, ketika K.H. Achmad Siddiq menyodorkan makalahnya, 34 penanggap langsung menentang dan menyerang. Hanya dua orang yang memberikan dukungan. Inti makalah itu menganjurkan NU menerima asas tunggal Pancasila.
Rata-rata dari 100 anggota komisi khittah (garis perjuangan NU) memang "mempersoalkan" asas Pancasila itu. Tetapi, Kiai Achmad sudah siap dengan argumentasi. "Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita kunyah selama 38 tahun, kok kini kita persoalkan halal dan haramnya," katanya. Setelah itu, ia lalu membuka kartu. Ternyata, empat ulama besar mendukung makalahnya, yaitu K.H. As'ad, K.H. Machrus Ali, K.H. Masjkur, dan K.H. Ali Ma'shum. Walhasil, warga NU menerima asas tunggal Pancasila.
Setelah menemui Presiden Soeharto bersama tujuh pimpinan PB NU lainnya, untuk menyampaikan hasil Muktamar NU ke-27, setahun kemudian, Kiai Achmad menyatakan, penerimaan asas Pancasila semata-mata karena motivasi agama, bukan politik. "Bagi NU, Republik Indonesia adalah upaya final seluruh bangsa, terutama kaum Muslimin .," katanya. Negara Republik Indonesia, ia menambahkan, "Sah menurut Islam."
Ia anak ke-16 dari 25 bersaudara, putra K.H.M. Siddiq, pendiri pesantren As-Siddiqiyah, Jember, 1915. Ibunya, istri kedua ayahnya (yang beristri lima), meninggal dalam perjalanan kembali dari Tanah Suci dan dimakamkan di Laut Merah. Ayahnya meninggal tujuh tahun kemudian. Achmad -- keturunan ke-15 Joko Tingkir, pendiri Kerajaan Islam Pajang -- diasuh oleh kakaknya, K.H. Machfud Siddiq. "Saya pernah berjualan baju di pasar," ujar Kiai yang mengaku lulusan SD itu.
Dimulai sebagai sekretaris pribadi bekas Menteri Agama K.H. Wachid Hasjim, Kiai Achmad sempat menjadi kepala kantor urusan agama (KUA) di Situbondo. Lalu kepala kantor agama Provinsi Jawa Timur. Setelah Pemilu I, 1955, ia duduk sebagai anggota DPR. Tetapi tidak lama. "Saya selalu berbicara keras soal Nasakom," katanya.
Rais Am Syuriah (ketua umum hukum agama) NU itu ingin mengubah citra buruk tentang politik dan sikap umat Islam. Misalnya "bahwa Islam itu berbahaya", bila disatunapaskan dengan "perjuangan" model DI-TII dan Komando Jihad. Padahal, di masa penjajahan, kaum Islam dan Kebangsaan bertemu di satu muara. "Dan sama-sama memperjuangkan kemerdekaan," kata Kiai, yang konsepnya sangat mendasari keputusan Munas Situbondo maupun Muktamar NU 1984.
Pandangannya yang luas dan berlapang dada tercermin dalam sikapnya terhadap kesenian. Kiai Achmad dapat menikmati dari nyanyian Euis Darliah, sampai lagu-lagu rock karya grup Smoke, serta Magnetic Field IV dari Jean-Michael Jarre -- di samping senandung Ummi Kalsum, tentu. Ia juga biasa menyetir sendiri mobilnya, Landrover 1960-an atau Colt.
Kiai ini, yang mengumpulkan ceramahnya dalam buku berjudul Khittah Nahdhliya, senang mendayung sepeda argo. Ia menikah dua kali. Pertama dengan Solihah, lalu dengan Hajjah Nihayah, adik nomor tiga almarhumah istri pertama.
|