Nama : K.H. SHOLEH ISKANDAR
Lahir : Bogor, Jawa Barat, 22 Juni 1922
Agama : Islam
Pendidikan : - SD di Warung Sabtu (tidak tamat)
- Isamawiyah Ittihadul Islamiyah di Sukabumi (1935)
- Aliyah Ittihadul Islamiyah di Sukabumi (1941)
- Pesantren di Banten (1932)
Karir : - Ketua Al-Ittihadul Islamiyah dan Kepanduan BII dan Grindo Wilayah Bogor Sukabumi (1940-1943)
- Ketua Persatuan Umat Islam (1943-1944)
- Pendiri dan Ketua Pebaten -- Banten (1944-1945)
- Pimpinan Hisbullah, Bogor (1945-1947)
- Komandan Yon VI, Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi (1947- 1950)
- Ketua Persatuan Bekas Anggota Tentara (1950-1954)
- Ketua Umum Perjuangan Islam bekas bersenjata seluruh Indonesia (1955-1957)
- Wakil Ketua MB Legiun Veteran RI (1958-1960)
- Ketua Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah (1961- sekarang)
- Ketua Yayasan Pembina Universitas Ibnu Khaldun Bogor (1970- 1983)
- Ketua Pelaksana Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Jawa Barat (1972-sekarang)
Karya : - antara lain Masalah Pelaksanaan Kewajiban Zakat, BKSPP Ja-Bar, 1979
- Sistim Ekonomi Islam, BKSPP Ja-Bar, 1984
Alamat Rumah : Jalan Jenderal Sudirman 38 D, Bogor, Telp: 22404
Alamat Kantor : Pesantren Pertanian Darul Fallah, Jalan Jenderal Sudirman 38 A, Bogor Telp: 28203
|
|
K.H. SHOLEH ISKANDAR
Sebelum memimpin Yayasan Pesantren Pertanian Darul Falah, Sholeh pengurus legiun veteran. Ia memang tentara, dahulunya. Mengapa memutar haluan, dan tidak meneruskan karier militer? "Tentara pejuang berjuang pada masa perlawanan terhadap penjajah, bukan ketika dalam keadaan damai," begitu alasan Sholeh.
Di antara kenangannya di masa Revolusi adalah ketika pasukannya, yang tergabung dalam Hizbullah, menguasai Jasinga dan Leuwiliang, dua kewedanaan besar di Bogor. "Tanpa pasukan kami di wilayah itu, bisa jadi Belanda menganggap pasukan kita sudah tidak ada apa-apanya," kata Sholeh. Menurut dia, kejadian itu ikut menentukan terselenggaranya Perjanjian Renville.
Ketika Sholeh keluar dari dinas ketentaraan, 1950, dengan pangkat mayor. Segera setelah Kemerdekaan, ia menerima "tanda jasa" berupa Penpres No.3/50. "Saya ditahan sampai tiga kali di zaman Orla itu. Dan dilepas begitu saja, tanpa diperiksa dan diproses," tuturnya.Sejak 1961 ia mengetuai Yayasan Pesantren Pertanian Darul Falah. Ketika hendak mendirikan pesantren itu, Sholeh antara lain memperoleh dukungan moril K.H. Abdul Gaffar Ismail, mubalig Pekalongan. "Kalau saya ditanya, pesantren ini mau ke mana, saya akan menjawab: mau ke akhirat," kata Sholeh.
Di situ, ternyata, pelajaran ilmu agama hanya 30 persen. Selebihnya merupakan mata pelajaran kejuruan pertanian, keterampilan, dan umum. Agama Islam, di Darul Falah, sebagian dijabarkan dari segi amaliahnya, tidak semata-mata diajarkan sebagai ilmu. Maka, pusat pendidikan ini lebih dikenal sebagai pesantren pertanian. Selama ini, sebagai lembaga, kata Sholeh, Darul Falah tidak pernah mengalami hambatan. "Kesulitan justru datangnya dari luar," katanya. "Karena ini barang baru, terkadang susah dipahami pemerintah. Pernah pesantren ini dicurigai sebagai proyek berbahaya." ; Sholeh anak kedua dari lima bersaudara, dari keluarga petani yang ketat menjalankan agama. Ayahnya, Haji Muhammad Arief, kelihatannya lebih senang menyekolahkan Sholeh ke pesantren. Misalnya, ke Pesantren Ittihadul Islamiyah, Sukabumi. Dan Sholeh sendiri, seperti pengakuannya, menekuni soal-soal agama sejak berusia 11.
Sholeh menikah dengan Rohani, dan dikaruniai delapan anak. Ia menyukai olah raga lari santai dan menggenjot sepeda argo. Sholeh juga penggemar sepak bola.
|