
Nama : R. WASITO
Lahir : Bantul, Yogyakarta, 5 Oktober 1909
Agama : Islam
Pendidikan : - ELS, Yogyakarta (1923)
- MULO Yogyakarta (1926)
- Nederlandse Indische Artzen School, Surabaya (1935)
- The John Hopkin's School of Public Health, Baltimore, AS (1957)
Karir : - Dokter di Sipirok (1935-1937)
- Dokter Tolan Tiga Rubber Estate, Sumatera (1937-1942)
- Dokter Rubber Estate Batang Toru, Tapanuli (1942-1950)
- Kepala Bagian Pemberantasan Penyakit Frambosia (1952-1962)
- Inspektur Kesehatan UNTEA, Irian Barat (1963-1964)
- Direktur Lembaga Kesehatan Nasional (1964-1968)
- Konsultan WHO di India (1967)
- Health Officer WHO di Nepal (1968-1970)
- Kepala BKKBN Ja-Tim (1971-1978)
Kegiatan Lain : - Anggota DPRD Gotong Royong Jawa Timur (1967)
- Anggota DPRD Jawa Timur (1971-1977)
- Ketua PKBI Jawa Timur (1975-1978)
Alamat Rumah : Jalan M. Duriyat 27, Surabaya Telp: 42591
|
|
R. WASITO
Sejak pertengahan 1982, pembuluh darahnya yang ke otak menyempit. "Maka, separuh badan saya menjadi lumpuh," tutur Dokter Raden Wasito. Awal 1985, pionir keluarga berencana ini bicaranya mulai terputus-putus. "Saya sekarang serba enggan untuk melakukan apa saja." Menurut istrinya, Soeprapti Tjokroseputro, "Makan saja Bapak sudah ogah-ogahan."
Dengan tinggi 170 cm dan berat hanya 50 kg, Wasito -- yang biasa dipanggil "Regol" -- sungguh kurus. Kegairahan dan semangatnya dulu, ketika beratnya masih berkisar 60-an kg, sudah menjadi seonggok tanda jasa. Ada: Bintang Jasa Utama (1975), Order of the Bifurcated Needle, WHO (1976), Ramon Magsaysay Award (1979), Purna Karya Kencana BKKBN (1983), penghargaan IDI (untuk pengabdian masyarakat, 1983), dan penghargaan Universitas Airlangga (1984).
Pada 1950-an, Regol sudah mulai mengkampanyekan KB di beberapa tempat -- antara lain Gresik, Probolinggo, Pasuruan -- di Jawa Timur. Sementara, waktu itu, pihak pemerintah sendiri belum merasa berkepentingan dengan soal KB. Rupanya, Bung Karno juga tidak menyetujui program tersebut. Maka, lewat menteri kesehatannya, Suprijo, Bung Karno memerintahkan supaya kegiatan Wasito dihentikan. Suprijo, seperti penuturan Wasito beberapa tahun kemudian, ternyata membelokkan perintah. "Karena BK tidak suka, jangan ramai-ramai. Tapi, teruskan saja secara diam-diam, karena rakyat memang memerlukan," katanya kepada Regol.Tanpa rapat-rapat umum, Regol lantas membisikkan programnya lewat tokoh-tokoh kunci di setiap daerah. Mereka itu, misalnya, tokoh kebatinan, lurah, dan kiai. Malam-malam, ia biasa ke rumah para kiai. "Tidak untuk mengajari kiai, bagaimana ber-KB," kata Regol. "Tapi, untuk minta doa restu. Dan di sini tak perlu ada perdebatan."
Usahanya berhasil. Pada masa Orde Baru, Provinsi Jawa Timur dijadikan proyek percobaan program KB. Regol sendiri menjadi ketua BKKBN provinsi tersebut, 1971-1978. Sebelum ia memegang jabatan ini, WHO meminta Regol menjadi konsultan pada pemberantasan penyakit patek di India (1967), dan, 1968 sampai 1970, ia terlibat dalam usaha pemberantasan cacar di Nepal.
Sempat mengikuti pendidikan kesehatan masyarakat pada The John Hopkin's School of Public Health, 1957, selama menjadi dokter Regol tidak pernah membuka praktek. "Rasanya lebih sreg untuk terjun langsung ke masyarakat," katanya. Dalam sambutannya sewaktu menerima penghargaan Marsaysay di Filipina, ia malah merendah dan mengatakan, "Saya sebenarnya merasa tidak pernah melakukan apa-apa. Tidak lebih hanya menjalankan tugas sebagai abdi negara dan pemerintah."
Di masa tuanya, dan lantaran kondisi tubuhnya yang mulai rapuh, ayah enam anak ini praktis telah meninggalkan sama sekali kegemarannya jalan-jalan dan berenang.
|