A | B | C | D | E | F | G | H | I | J | K | L | M | N | O | P | R | S | T | U | V | W | Y | Z

IBRAHIM HOSEN




Nama :
IBRAHIM HOSEN

Lahir :
Bengkulu, 1 Januari 1917

Agama :
Islam

Pendidikan :
- SD Madrasah Assagaf, Singapura (1927)
- SMP Darul Muallimin Jakarta (1934)
- SMA Pesantren Menengah, Sukabumi (1935)
- Universitas Al Azhar Kairo, Mesir (1960)


Karir :
- Guru Agama, Bengkulu (1936)
- Badan Pekerja DPRD Bengkulu (1948)
- Wakil kepala Jawatan Agama, Bengkulu (1949)
- Pengajar Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah IAIN (1960)
- Ahli Pendidikan Agama Departemen Agama (1962)
- Rektor IAIN Raden Patah Palembang (1964)
- Kepala Biro Humas/LN Departeman Agama (1966)
- Guru Besar Fakultas Syariah IAIN Jakarta (1979)
- Asisten Menteri Agama (1980) Rektor Institut Ilmu Quran (sekarang)
- Ketua MUI (sekarang).


Kegiatan Lain :
- Ketua Umum Yayasan Ihya Ulumiddin (1970- sekarang)
- Ketua Yayasan Affan (1976-sekarang)


Alamat Rumah :
Jalan Wisma Sejahtera II 84, Ciputat, Jakarta Selatan Telp.: 741457

Alamat Kantor :
Jalan Taman Wijaya Kusuma Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat Telp.: 363206

 

IBRAHIM HOSEN


Sukses mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ), Ibrahim Hosen tiba-tiba teringat kembali akan tanya jawab antara Nabi Muhammad dan seorang sahabatnya. "Kepada siapa aku harus mengabdi, Ya Rasulullah?" tanya sang sahabat. "Ibumu!" jawab Muhammad. "Tiga kali sahabat Nabi bertanya, dan tiga kali pula Nabi menjawab sama," tutur Kiai Hosen. "Baru pada pertanyaan keempat beliau menjawab dengan 'Ayahmu'."

Hal ini, menurut lulusan Universitas Al Azhar itu, menunjukkan bahwa kaum ibu memiliki tiga tugas khusus: sebagai ibu rumah tangga, pendidik utama, dan ibu masyarakat. Sehingga Nabi Muhammad, melalui Hadisnya, bersabda, surga berada di bawah telapak kaki ibu.

Inilah yang mendorong Ibrahim Hosen mendirikan Institut Ilmu Quran (IIQ), yang dikhususkan untuk putri. Sebab, PTIQ, yang sudah lebih dahulu didirikannya, dikhususkan buat pria. Keduanya didirikan pada 1977.

Lahir di Desa Tulungagung, Bengkulu Utara, Ibrahim sendiri merasakan peranan ibunya yang sangat besar sebagai pendidik. "Ayah mengajar, tetapi tidak mendidik," kata anak kedelapan dari 14 bersaudara itu. Sebagai kiai pesantren, ayahnya memang cukup sibuk. Besarnya perhatian sang ibu kepada Ibrahim konon melebihi kepada kakak-kakak perempuannya. "Rupanya, saya sedang dipersiapkan menjadi kiai," ujarnya.Dan itu sudah diarahkan sejak masa usia sekolahnya. Mula-mula ia memasuki Madrasah Assagaf di Singapura, lalu Darul Muallimin di Jakarta, disusul di pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi, dan pesantren Buntet, Cirebon. Kemudian, ia menuntut ilmu di Al Azhar, Kairo. Di zaman Jepang, Kiai masuk sekolah pegawai tinggi Chukyu Kanri Gakko, di Batusangkar, Sumatera Barat.

Kurikulum PTIQ dan IIQ yang berstatus swasta itu mirip dengan IAIN. Hanya di dua perguruan terdahulu harus menghafal seluruh 30 juz Quran -- 7,5 juz per tahun -- selama empat tahun. Gagasan mendirikan PTIQ, antara lain, timbul setelah Presiden Soeharto selalu mengimbau agar Quran jangan hanya dihafalkan, tetapi juga diamalkan.

Kebetulan, 1970, Ibrahim bertemu dengan seorang keturunan Cina, yang memiliki banyak tanah di kawasan Jakarta Selatan. Hartawan bernama Untung, dan kebetulan beragama Kristen, itu bersedia menjual tanah miliknya dengan pembayaran dilunasi kemudian. Dibangunlah ruang kuliah, kantor, asrama, dan masjid. Di samping sumbangan ala kadarnya dari kaum Muslimin, datang pula bantuan dari bekas Dirut Pertamina Ibnu Sutowo. Sedangkan khusus untuk pendirian IIQ, sumbangan mengalir dari keluarga Affan dan Dana Solidaritas Islam, Arab Saudi, serta Pemda DKI Jakarta Raya.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menganggap bahwa pemakaian jilbab seharusnya bukan dilarang, tetapi dianjurkan. "Memakai bikini dan pakaian tak sopan yang mestinya dilarang," ujar Ibrahim, yang menulis buku Fiqih Perbandingan, 1971, dan Perkawinan Muslim dengan non-Muslim.

Sebagian besar dari kedelapan anaknya tidak mau menjadi kiai -- konon karena kehidupan kiai pas-pasan. "Saya menunggu agar dapat menantu kiai. Tapi tidak ada yang berani melamar," ujar Kiai Ibrahim Hosen.

Copyright PDAT 2004

comments powered by Disqus

 


I GUSTI NGURAH OKA DIPUTHERA | I GUSTI NGURAH BAGUS | I GUSTI NGURAH PUTU WIJAYA | I KETUT Gde Widiana | I NYOMAN MOENA | I WAYAN SURPHA | IBNU SUTOWO | IBRAHIM HASAN | IBRAHIM HOSEN | IBRAHIM RISJAD | IBU SOED (Saridjah Niung Bintang Soedibio) | ICUK SUGIARTO | IDA BAGUS MADE | IDA BAGUS MANTRA | IDA BAGUS OKA PUNIAATMAJA | IDHAM | IDHAM CHALID | IDRIS SARDI | IHROMI | IKE SOEPOMO | IMAM MUNANDAR | IMAM ZARKASYI | IMAN CHAERUL UMAM | IMAN EMMANUEL GINTING MALIK (EL MANIK) | IMAN TAUFIK | INDAH BERLIANI SOETOPO | INKE MARIS | IRAVATI M. SUDIARSO | IRENG MAULANA | ISBANDI SOEWARDI | ISKANDAR ALISJAHBANA | ISKANDAR SURYAATMADJA | ISMAIL Saleh | ISMAIL SUNI | ISMED BATARA SIREGAR | ISMID HADAD | IVANNA LIE | IWAN DARMANSJAH | IWAN JAYA AZIS | IWAN STAMBOEL | IZZAC HINDOM | Iwan Suryaputra | I Gede Ardika | Ichlasul Amal | Ignas Kleden


Arsip Apa dan Siapa Tempo ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq