
Nama : BISMAR SIREGAR
Lahir : Sipirok, Sumatera Utara, 15 September 1928
Agama : Islam
Pendidikan : -HIS, Sipirok (tidak selesai)
-SMP, Sipirok (1942)
-SMA, Bandung (1952)
-FH UI, Jakarta (1956)
-National College of the State Judiciary, Reno, AS (1973)
-American Academy of Judicial Education, Tescaloosa, AS (1973)
-Academy of American and International Law, Dallas, AS (1980)
Karir : -Jaksa di Kejari Palembang (1957-1959)
-Jaksa di Kejari Makassar/Ambon (1959-1961)
-Hakim di Pengadilan Negeri Pangkalpinang (1961-1962)
-Hakim di Pengadilan Negeri Pontianak (1962-1968)
-Panitera Mahkamah Agung RI (1969-1971)
-Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur (1971-1980)
-Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Bandung (1981-1982)
-Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Medan (1982-1984)
-Hakim Agung di Mahkamah Agung RI (1984 -- sekarang)
Alamat Rumah : Jalan Cilandak I No 25 A, Jakarta 12430 Telp: 767416
Alamat Kantor : Mahkamah Agung RI, Jalan Medan Merdeka Utara 13, Jakarta Pusat Telp: 343557 pesawat 34
|
|
BISMAR SIREGAR
Berperawakan sedang, tutur katanya pun lembut. Namun, vonis atau keputusan yang dijatuhkannya acap terdengar menggelegar, bahkan kontroversial. Bismar Siregar, yang sejak Juni 1984 menjadi hakim agung, pernah menaikkan hukuman pengadilan bawahan menjadi 10 kali lipat.
Misalnya kasus Cut Mariana dan Bachtiar Tahir, yang oleh Pengadilan Negeri Medan dihukum 10 bulan penjara karena dituduh memperdagangkan 161 kg ganja. Vonis ini kemudian diubah Bismar -- waktu itu Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara -- menjadi 15 & 10 tahun penjara.
Hukuman 7 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjungbalai terhadap kepala sebuah SMP Negeri di Kisaran, Sumatera Utara, yang dituduh berbuat cabul dengan anak didiknya sendiri, diubahnya menjadi 3 tahun penjara. Statusnya sebagai pegawai negeri juga dicabut. Bismar, masih sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, malah menafsirkan kata barang dalam Pasal 378 KUHP, yang dituduhkan dilanggar oleh terdakwa, bisa berarti "jasa". Ini dikaitkannya dengan istilah bonda (barang) dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti alat kelamin. "Jadi, bila Saksi menyerahkan kehormatannya kepada Terdakwa samalah dengan menyerahkan bonda," ujar Bismar berdalih.Sikap keras sarjana hukum lulusan UI kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, itu bukan sekarang saja. Ketika mengadili seorag tokoh BTI/PKI, Mei 1967, Bismar dengan berani melawan tekanan PKI. "Tetapi dengan menyerah kepada kuasa Tuhan, tokoh BTI itu dapat dihukum juga," tuturnya. Kedudukan hakim di Indonesia, menurut dia, adalah sebagai "wakil Tuhan".
Ayahnya, pensiunan kepala SD, memang menginginkan Bismar, anak kelima dari 13 bersaudara, menjadi hakim yang baik. Sempat menjadi jaksa di Palembang, hanya dua tahun, ia kemudian beralih menjadi hakim yang membawanya bertugas ke mana-mana: Pangkalpinang, Pontianak, Bandung, di samping Medan dan Jakarta. Menjadi hakim agung sejak Juni 1984, ia mengaku tidak menduga sebelumnya. Soalnya, sudah pernah dua kali ia dicalonkan menjadi hakim agung, 1979 dan 1980, tetapi tidak gol.
Gemar membaca, Bismar juga rajin menulis. Ia tercatat menjadi kolumnis Kompas, Sinar Harapan, Panji Masyarakat, Kedaulatan Rakyat, dan Hukum dan Pembangunan. "Tinta seorang pandai lebih suci daripada darah seorang syuhada," katanya mengutip sabda Nabi Muhammad. Dua bukunya yang telah terbit berjudul Berbagai Segi Hukum dan Perkembangannya dan Bunga Rampai Karangan Terbesar Bismar Siregar.
Walaupun orangtuanya menuntut ketaatan total, Bismar sendiri memperlakukan ketujuh anaknya sebagai kawan. "Yang penting, bagaimana mereka bertanggung jawab terhadap diri sendiri," ujar pengagum Almarhum K.H.E.Z. Muttaqien itu. Di samping melakukan jogging, Bismar gemar bercocok tanam di halaman rumahnya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
|