
Nama : DAOED JOESOEF
Lahir : Medan, 8 Agustus 1926
Agama : Islam
Pendidikan : -SMA, Yogyakarta (1949)
-FE UI (1959)
-Certificate Doctorat de l'Universite, mention droit, Universite de Paris (1967)
-Diplome d'Etudes Superieurs, Universite De Paris (1969)
-Docteur es Sciences economiques, Universite De Paris (1973)
Karir : -Dosen Tamu di Universitas Hasanuddin (1956-1959)
-Anggota Tim Penasihat Ketahanan Teritorial (1959-1960)
-Dosen FE UI (1958-1965)
-Dosen Akademi Bank di Jakarta (1960-1965)
-Kepala Departemen Ekonomi FE UI (1962-1965)
-Kepala Departemen Administrasi Umum FE UI (1964-1965)
-Anggota Delegasi RI ke UNESCO (1968-1970)
-Penasihat Delegasi Tetap Indonesia ke Paris (1971-1972)
-Menteri P & K (1978-1983)
-Anggota DPA
-Direktur CSIS (1970-1973)
-Dosen FE UI (sekarang)
-Ketua Dewan Direktur CSIS (1983-sekarang)
Kegiatan Lain : Ketua Kehormatan Lembaga Javanologi "Panunggalan" (sekarang)
Karya : -Artis dan Masyarakat Pujangga Baru, 1949
-International Monetary Problems, CSIS, 1971
-The Shift of International Politics towards Asia, CSIS, 1971
-The Significance of Nixon's Visit to Communist China, CSIS, 1972
Alamat Rumah : Jalan Bangka Barat I No. 7, Jakarta Selatan Telp: 797475
Alamat Kantor : Jalan Merdeka Utara 15, Jakarta Pusat Telp: 348961
|
|
DAOED JOESOEF
Setelah tidak lagi menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef tetap saja sibuk. "Tidak ada istilah menganggur," ujarnya. Kini, sebagai Ketua Dewan Direktur CSIS (Centre for Strategic & International Studies) maupun sebagai Ketua Kehormatan Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Lembaga Javanologi di Yogyakarta, ia tetap rajin menghadiri berbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Sementara itu, toh ia masih juga menulis artikel untuk sejumlah penerbitan, seperti Sinar Harapan, Mutiara, dan Famili. Yang dibahasnya beragam: masalah politik, agama, pendidikan, bahkan juga mode.
Istrinya, Sri Soelastri, asli Yogya, tetapi Daoed tidak juga mahir berbahasa Jawa. Justru karena keinginan yang besar belajar tentang kebudayaan Jawa, ia jadi menyukai karya-karya pujangga Jawa. Hasilnya? Sebuah buku mengenai Jawa terbit dari tangannya, "Ilmu Pengetahuan, Javanologi dan Pendidikan". Adapun soal bahasa, "Saya tetap saja tak bisa omong Jawa," kata Daoed.
Putra Medan yang pernah mendapat gelar Sutan Iskandar Muda Nasution dari masyarakat Mandailing, Tapanuli (1982), ini gemar melukis sedari kecil. Karena masa kecilnya sangat bersahaja, kanvasnya hanyalah tanah. Kalau belajar, bukunya dibawa ke hutan, atau ke sungai. Di sanalah ia belajar, sambil menunggu sapi yang digembalakannya.Di masa Revolusi, anak gembala ini menjadi letnan muda, bergerilya di Sumatera Timur, kemudian menyeberang ke Jawa dan menetap di Yogyakarta. Di kota ini, bakat melukisnya tersalurkan. Daoed bergaul dengan Nasyah Djamin, Affandi, Tino Sidin, dan banyak lagi pelukis yang lain. Ia bahkan diangkat menjadi Ketua Seniman Indonesia Cabang Yogya -- pusat organisasi ini di Solo dipimpin S. Sudjojono. Di awal 1950-an itu, ia sempat menjadi pelukis poster film.
Lukisan-lukisan Daoed, terutama sketsa-sketsanya, tersimpan dengan rapi di rumahnya. Desember 1979, 90 lukisannya -- terbanyak sketsa -- dipamerkannya di Museum Pusat Jakarta. Ini pameran keluarga. Anaknya, Sri Sulaksmi Damayanti, memamerkan 30 lukisan masa kanak-kanaknya. Ny. Daoed menampilkan 6 karya sulaman. Tetapi, mengapa pameran di museum? "Karena gratis," kata Daoed.
Lulusan FE UI ini menggondol dua gelar doktor dari Universite de Paris, Prancis -- doktor keuangan internasional dan hubungan internasional (1967) dan doktor ilmu ekonomi (1973). Daoed menyukai musik klasik. "Musik rock tidak suka, itu 'kan mirip suara kucing berkelahi," katanya. Olah raganya tidak begitu jelas. Yang pasti, ia tidak menyukai golf. "Waktu kecil dahulu, saya 'kan sudah bermain golf," ujar Daoed. Yang ia maksudkan, di masa kecilnya di Medan, ia sempat menjadi caddie.
|