Nama : Djisman Simandjuntak
Lahir : Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara
Pendidikan : - Ekonomi Perusahaan, Universitas Parahyangan, Bandung (1973)
- Undergraduate, University of Cologne, Jerman Barat (Monetary Economics and Public Finance), (1976-1979)
- University of Cologne, Jerman Barat (Ph.D in Trade), (Januari 1983)
Karir : - SGV-Utomo, Junior Auditor (1973-1974)
- Staf Peneliti CSIS (1974-1984)
- Analis Senior CSIS
- Kepala Departemen Ekonomi CSIS (1984-1987)
- Staf Pengajar Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya (1984-sekarang)
- Direktur Eksekutif Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya (1989-sekarang)
- Ketua Dewan Direktur CSIS (19 November 1999-sekarang)
Kegiatan Lain : - Dosen untuk Micro Economics dan Comparative Economics Systems, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UI
- Dosen Fakultas Ekonomi, Unika Atma Jaya, Jakarta
- Dosen Universitas Nomensen, Medan
- Dosen Universitas Surabaya
- Pengajar di Sesdilu (Sekolah Staf Dinas Luar Negeri), Sesparlu, Departemen Luar Negeri
- Konsultan Ekonomi Bank Central Asia, Jakarta
- Komisaris PT Pratama Penaganarta, Jakarta
Keluarga : Istri : Liliana Aliwarga
Anak : 1. Joshua
2. Kenan
3. Defiree
Alamat Rumah : Taman Aries A 5/18, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Alamat Kantor : - CSIS, Jalan Tanah Abang III/27, Jakarta Pusat
Telepon (021) 3849961
- Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya, Jl. RA. Kartini, Cilandak, Jakarta Timur 12430
Telepon (021) 7511140, 7511143
Faksimile (021) 7500460, 7500461
|
|
Djisman Simandjuntak
Sejak kecil, ia anak yang cerdas. Dan sempat menunjukkan kelucuan waktu duduk di SMP. Ceritanya, di kelasnya ada dua Djisman Simandjuntak yang lain selain dirinya. Saat pembagian rapor, diumumkan bahwa yang keluar sebagai juara kelas adalah Djisman Simandjuntak. €œKawan saya yang namanya sama itu maju, tapi sampai di depan dia balik lagi karena ternyata bukan dia tapi saya yang juara,€ tutur anak Desa Sipahutar, Tapanuli Utara, ini.
Belakangan jadi peneliti ekonomi ternama, itu semua berkat didikan orangtuanya. Walau ibunya buta huruf dan ayahnya hanya seorang petani merangkap kepala gereja di daerah terpencil di selatan Danau Toba, Sumatra Utara, Djisman memperoleh kesempatan yang luas untuk menimba ilmu. €œMereka rela menderita apa saja asalkan anaknya sekolah,€ ujar lelaki kelahiran Desa Sipahutar, Tapanula Utara, itu.
Maka selepas SMA, Djisman berlayar ke Jawa demi mewujudkan cita-citanya sebagai ahli fisika; menyusul abangnya yang kuliah di Bandung. Tapi, ketika sampai di Kota Kembang, pendaftaran masuk perguruan tinggi sudah tutup semua. Hanya Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan yang masih membuka pendaftaran gelombang kedua. Walau bukan minatnya, toh Djisman serius kuliah ekonomi di universitas tersebut, sambil berdagang gula merah, yang ia datangkan dari Kroya, dan membuka kios rokok untuk membiayai kuliah. Hingga akhirnya, tiga tahun setelah tamat dari Unpar, 1973, ia beroleh kesempatan dari tempatnya bekerja, CSIS, melanjutkan studi ekonomi di University of Cologne, Jerman Barat. Gelar doktor pun ia raih, pada 1983, dengan disertasi berjudul "The Effect of the EC Trade Policy on ASEAN Countries and the Prospects for Cooperation Between EC and ASEAN".
Jatuh cinta pada profesi peneliti membuat Djisman tetap betah di CSIS, yang dianggapnya sebagai rumah kedua, karena sangat berperan dalam kehidupan profesinya. Sepulang dari Jerman, ia kembali ke lembaga penelitian itu, mengepalai departemen ekonomi. Ia juga makin aktif menulis buku dan kolom di media massa, seminar baik lokal maupun internasional, mengajar, melakukan penelitian. Tidak lama kemudian, dikenallah Djisman Simandjuntak sebagai peneliti ekonomi. Tulisannya tersebar di banyak media, dan makin sering ia diundang jadi pembicara seminar. Walau popularitas bukan tujuannya, ujarnya, €œKadang-kadang rasa sombong karena menjadi terkenal keluar juga,€ ujarnya.
Walaupun sejak 1989 hingga sekarang ia €œdipinjamkan€ oleh CSIS kepada Prasetya Mulya Jakarta untuk menjadi Direktur Eksekutif Sekolah Tinggi Manajemen milik yayasan tersebut, Djisman tetap meluangkan waktu untuk melakukan penelitian. €œPaling tidak setahun, ada saja proyek studi,€ katanya. Dari penelitian, kadang ia memperoleh kepuasan, kadang tidak. Ada tulisannya yang ia anggap baik dan ada pula yang tidak. €œTapi itulah hidup,€ kata penyuka buku karya ilmuwan Garet Diamond, Richard Dochin, dan Wiliam Schopt ini.
Sebagai peneliti, ia berpendapat bahwa kultur penelitian di negeri ini masih sangat minim; kemauan untuk berbagi data sangat pelit. €œBukan perusahaan saja, pemerintah pun sering merahasiakan hal-hal yang tidak perlu dirahasiakan, padahal itu semua milik rakyat,€ ungkapnya.
Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis, menurut Djisman, karena Indonesia sedang mengalami transisi yang luar biasa dalam segala hal. €œKita belajar hidup demokrasi dan itu bukan pekerjaan yang mudah,€ ujarnya. Menurut pengagum Darwin dan Abraham Lincoln ini, kita memerlukan dukungan biologi melalui perilaku manusia. Kebutuhan biologi sering memaksa manusia tidak bisa menjinakkan naluri-naluri prima. Maka itu, lanjut Djisman, pengetahuan-pengetahuan ini memang perlu dipertemukan supaya kita makin menyadari bahwa demokrasi itu tidak diada-ada oleh mereka yang mendapat didikan Barat.
Di sela-sela kesibukannya yang sangat padat, ia tak lupa meluangkan waktu untuk hobinya: berenang. €œAsal tahu saja, saya selalu bawa celana renang di tas saya setiap saat,€ ujarnya. Ia hobi mengoleksi figurin (patung kecil) dari batu kecil-kecil yang berbentuk hewan. €œKoleksi saya dari mana-mana, dari Cina, Jerman, India, Vietnam,€ katanya.
Menikah dengan Liliana Aliwarga, temannya di Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jerman, Djisman ayah tiga anak. Ia pun menginginkan salah seorang anaknya menjadi peneliti. €œTapi, ini tentu impian orangtua, nanti dia mau jadi apa akhirnya toh dia yang menentukan,€ ujarnya. Kepada anak-anaknya, Djisman menanamkan cinta buku sejak dini. Baca buku, selain sebagai kebutuhan, bagi Djisman, juga untuk rilaksasi.
|