
Nama : DICK HARTOKO
Lahir : Lumajang, Jawa Timur, 9 Mei 1922
Agama : Katolik
Pendidikan : -ELS I D, Cikini, Jakarta (1935)
-MULO Strada, Jakarta (1938)
-AMSwB Kanisius, Jakarta (1941)
-Les Privat Bahasa Latin dan Yunani di Jakarta (1941-1942)
-Pendidikan Rohani dan Humaniora di Girisonta (1942-1945)
-Filsafat di Kolese Ignasius, Yogyakarta (1946-1949)
-Sejarah Umum di Negeri Belanda (1949-1952) Teologia di Canisianum, Belanda (1952-1956)
Karir : -Pemimpin Redaksi majalah Basis (1957)
-Dosen tidak tetap IKIP Sanata Dharma (1957)
-Dosen tidak tetap Fakultas Sastra UGM (1970)
-Dosen tidak tetap di ASRI (1979)
-Pastor di Kotabaru, Yogyakarta
Karya : -Saksi Budaya, Pustaka Jaya, 1975
-Tanah Airku dari bulan ke bulan, Karya Unipress, 1983
-Manusia dan Seni, Kanisius, 1984
-Bianglala Sastra (penerjemah) Jambatan, 1985
Alamat Rumah : Jalan I Dewa Nyoman Oka 18, Yogyakarta Telp: 3973
Alamat Kantor : Majalah Basis, Jalan Abubakar Ali 14 Pavilyun, Yogyakarta Telp: 88283
|
|
DICK HARTOKO
Majalah Basis sudah melewati masa tiga dasawarsa, seperempat abad lebih di antaranya di bawah pimpinan Dick Hartoko. "Basis tak bisa dipisahkan dengan Romo Dick, begitu juga Romo Dick tak bisa dipisahkan dengan Basis," komentar B. Rahmanto, sekretaris redaksi majalah Basis. Sepertiga dari seluruh gaji Romo Dick dibelanjakan untuk kelangsungan hidup majalah ini.
Ia lahir sebagai Theodoor Willem Geldorp. "Menurut perhitungan orang Cina, saya berlindung di bawah shio anjing. Kamu tahu, anjing itu setia dan tekun," kata pastor berdarah IndowBelanda itu. Kesetiaan itu tetap teruji ketika Basis, yang dituding sebagai trompet imperialis", hampir tenggelam di zaman Demokrasi Terpimpin. Toh, dalam masa itu pula, Basis dianggap tampil lebih bermutu.
Berada di Jakarta sejak kecil, pada 1941 ia merampungkan AMS- B Kanisius. Setelah menyelesaikan pendidikan filsafat di Kolese Ignasius di Yogyakarta, 1949, Dick ke Negeri Belanda. Di sana ia belajar sejarah umum, kemudian teologia, di Canisium Maastrict, hingga 1956.Di samping memimpin redaksi Basis, sejak 1957, Pater Dick juga memberi khotbah, kuliah, dan ceramah. Ia berkhotbah empat kali seminggu, tiga kali di antaranya pada Sabtu sore dan Minggu pagi. Dari mengajar di FS UGM Yogyakarta, ia menerima Rp 160 ribu setahun, sedangkan Akademi Seni Tari dan Karawitan ASTI memberinya Rp 60 ribu per semester. Masih ada tambahan dari IKIP Sanata Dharma Rp 55 ribu per tahun. Tetapi, yang relatif banyak ialah dari hasil menerjemahkan -- Rp 1,5 juta per tahun. Sebagian penghasilan itu menunjang keuangan majalah Basis.
Romo Dick sebenarnya sudah menjadi WNI sejak 1946, di Yogyakarta. Tetapi, masih saja ia mengalami perlakuan menjengkelkan. "Kalau memperbarui KTP, selalu harus menunjukkan bukti kewarganegaraan," tutur penggemar gudeg itu.
Suka membaca sejak kecil, Dick juga banyak menulis. Bukunya Saksi Budaya diterbitkan oleh Pustaka Jaya, 1975, Tanah Airku dari Bulan ke Bulan, oleh Karya Unipress, 1983, dan Manusia dan Seni oleh Kanisius, 1984.
Penggemar musik klasik ini senang berjalan kaki, terutama di Malioboro. Mengagumi Umar Kayam, Soedjatmoko, dan Mochtar Lubis, ia memandang karya sastra yang bagus adalah karangan Pramudya Ananta Toer.
Tetapi idola Pastor Dick cuma seorang: Yesus Kristus.
|