
Nama : DEDE ERI SUPRIA
Lahir : Jakarta, 29 Januari 1956
Agama : Islam
Pendidikan : -SDN I Cilamaya, Jakarta (1970)
-SMP Trisula, Jakarta (1974)
-SSRI di Yogyakarta (sampai kelas III, 1977)
-Kursus melukis pada Almarhum Pak Ooq
Karir : -Bekerja di beberapa Biro Reklame di Jakarta (1979)
-Ilustrator sampul Majalah Berita Mingguan Tempo (1980)
-Pelukis (sekarang)
Alamat Rumah : Jalan Musik Raya L-4, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Alamat Kantor : Studio (idem)
|
|
DEDE ERI SUPRIA
Para tetangganya tidak pernah melihat Dede sibuk ngantor. Sehingga, ketua RT di lingkungan Jalan Musik Raya, Kelapa Gading, Jakarta, tempat tinggal Dede setelah menikah dengan Dewi Koen Saraswati, memberinya jabatan sekretaris RT. "Daripada menganggur, Dik," kata Pak RT.
Sebagai pelukis, tempat kerja Dede adalah studionya, yang menjadi bagian rumah tinggal itu. Dede pernah mengajak Pak RT ke studio itu, untuk meyakinkan bahwa ia juga sibuk, sehingga sulit memikul tugas-tugas ke-RT-an. Toh, ia tetap didaulat untuk menjadi sekretaris. Jabatan ia terima, cuma, yang menangani urusan adalah istrinya.
Sampai akhir 1984, Dede sudah menghasilkan 150-an lukisan -- belum termasuk lukisan potret pesanan. Terakhir ia menggarap tema Perang Aceh, atas pesanan Ir. Sofyan dari Metropolitan Development. Lukisan yang dikerjakan lima bulan itu berharga Rp 7 juta. "Harga tertinggi yang pernah saya terima," kata Dede.Ia muncul pertama kali bersama Grup Kesenian Kepribadian Apa, yang mengadakan pameran seni rupa eksperimental di Art Gallery Seni Sono, Yogya, September 1977. Kemudian, Gerakan Seni Rupa Baru mengajaknya berpameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sejak itu, "Banyak perubahan dalam diri saya. Ada kesadaran baru dalam melukis," kata Dede. Mulai saat itu pula ia, dengan gaya melukis realisme baru, dinilai sebagai satu di antara tonggak dalam sejarah seni rupa di Indonesia.
Perokok berat, yang menghabiskan tiga bungkus kretek filter sehari ini lahir sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara. Ayahnya, Supardi Tanumihardja, terakhir guru STM, memang pandai melukis. Ketika di SD, Dede, yang sejak kecil memang bercita- cita menjadi pelukis, pernah mengisi liburan Ramadan dengan menjual kartu pos bergambar hasil goresannya, di depan Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta.
Di SMP, ia tinggal bersama pamannya, Sulaiman Mertakusumah. Oleh bibinya, Dede dikursuskan pada Pelukis Pak Ooq (almarhum). Ia, antara lain, belajar anatomi, dan menggambar dengan pastel.
Mengapa ia memilih realisme? Dede, yang ke mana-mana gemar bersandal ini, menjawab, "Lukisan abstrak tidak relevan di Indonesia. Masyarakat kita masih sedikit yang dapat menikmatinya." Ia pengagum Sudjojono, Affandi, dan Jesper John.
|