
Nama : NYI TJONDROLUKITO
Lahir : Yogyakarta, 23 April 1920
Agama : Islam
Pendidikan : - SD, Yogyakarta
- Seni Karawitan Jawi, Yogyakarta
Karir : - Abdi Kepatihan Danurejan, Yogyakarta (1932-1935)
- Abdi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (1935-1937)
- Membantu Siaran Radio NIROM, Yogyakarta (1933-1937)
- Pengisi tetap acara kesenian Jawa RRI Pusat (1955 -- sekarang).
Alamat Rumah : Jalan Setiabudi I No.t14, Rt 003 Rw 07, Jakarta Selatan Telp: 515786
Alamat Kantor : Radio Republik Indonesia Jalan Merdeka Barat 4-5, Jakarta Pusat Telp: 377508
|
|
NYI TJONDROLUKITO
"Sebagai waranggono, godaan selalu ada, kalau tak kuat iman, nama bisa cemar," kata Nyi Tjondrolukito berkisah tentang profesi yang digelutinya sejak kecil. Waranggono (pesinden) yang satu ini menjadi "langganan Istana" sejak zaman Bung Karno sampai zaman Pak Harto.
Ketika tamat SD, 1932, ia sangat kecewa karena tidak mampu melanjutkan ke SLP. Untung, ayahnya, Pawirodimedjo, tidak kehabisan akal. Turah, begitu nama yang diberikan orangtuanya, disuruh belajar menyanyi dan menari. Tidak jauh-jauh, ia belajar pada ayahnya sendiri, seorang petani. Putri sulung dari lima bersaudara itu tampaknya memang berbakat.
Ibunya merasa mendapat rezeki yang berlimpah ketika pesinden terkenal ini masih dalam kandungan. Itu sebabnya, ketika lahir di Desa Pogung, perbatasan Sleman dan Yogya, ia diberi nama Turah, artinya berlebih.
Tahun 1932-1935 Turah menjadi abdi di Kepatihan Danurejan. Di sana, berguru pada Larasati dan Madularas, dan mendapat nama Penilaras. Tetapi, ketika Patih Danureja meninggal, ia lalu mengabdi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, berguru pada R. Wedana Madubronto. Ia mendapat nama Padasih.Di Keraton Yogyakarta inilah ia bertemu jodoh. Menikah dengan Romo Tjondrolukito, bangsawan ahli seni tari Jawa, 1937. Sejak itu Turah dikenal dengan Nyi Tjondrolukito. Dan nama baru ini, kian dikenal setelah membantu acara NIROM, siaran radio milik Pemerintah Belanda. Kegiatannya terhenti ketika Jepang berkuasa.
Tahun 1952 suaminya mendirikan sekolah tari Ngesti Budaya di Jalan Cikini, Jakarta. Tiga tahun kemudian Nyi Tjondro baru menyusul ke Jakarta bersama anak-anaknya. Ia menjadi tenaga honorer RRI Jakarta dan baru diangkat menjadi pegawai negeri golongan III-A pada tahun 1981 -- langsung memasuki masa persiapan pensiun.
Kesan menarik sebagai pesinden ketika pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta. Ia menolak permintaan Bung Karno untuk mengisi acara dua jam di Gedung Agung Yogya. Pasalnya, ia keberatan duduk di bawah, karena tidak dibuatkan panggung. "Wah rewel juga Bu Tjondro ini. Tetapi dia benar," katanya menirukan Bung Karno.
Ada 200 judul kaset yang pernah ia hasilkan. Masih gemar jalan kaki bersama anak cucunya selama dua jam setiap hari. Dan satu hal yang penting ia berpegang teguh pada lagu Jawa, tidak menggabungkannya dengan lagu Bali, atau lagu modern lainnya.
|