Nama : H. ROSIHAN ANWAR GELAR SUTAN MALINTANG
Lahir : Kubang Nan Duo, Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922
Agama : Islam
Pendidikan : - HIS, Padang (1935)
- MULO, Padang (1939)
- AMS-A II, Yogyakarta (1942)
- Drama Workshop, Universitas Yale, AS (1950)
- School of Journalism, Columbia University New York, AS (1954)
Karir : - Reporter Asia Raya, (1943-1945)
- Redaktur harian Merdeka, (1945-1946)
- Pendiri/Pemred majalah Siasat (1947-1957)
- Pendiri/Pemred harian Pedoman, (1948-1961)
- Pendiri Perfini (1950)
- Kolumnis Business News, (1963 -- sekarang)
- Kolumnis Kompas, KAMI, AB (1966-1968)
- Koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong (1967-1971)
- Pemred harian Pedoman, (1968-1974)
- Koresponden The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur (1976-1985)
- Wartawan Freelance (1974 -- sekarang)
- Kolumnis Asiaweek, Hong Kong (1976 -- sekarang)
- Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973)
- Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978)
- Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983 -- sekarang)
Kegiatan Lain : - Wakil Ketua Dewan Film Nasional (1978 -- sekarang)
- Anggota Dewan Pimpinan Harian YTKI (1976 -- sekarang)
- Committee Member AMIC, Singapore (1973 -- sekarang)
- Dosen tidak tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1983 -- sekarang)
Karya : - Ke Barat dari Rumah, 1952
- India dari Dekat, 1954
- Dapat Panggilan Nabi Ibrahim, 1959
- Islam dan Anda, 1962
- Raja Kecil (novel), 1967
- Ihwal Jurnalistik, 1974
- Kisah-kisah zaman Revolusi, 1975
- Profil Wartawan Indonesia, 1977
- Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi, 1977
- Jakarta menjelang Clash ke-I, 1978
- Menulis Dalam Air, autobiografi, SH, 1983
- Musim Berganti, Grafitipers, 1985
Alamat Rumah : Jalan Surabaya 13, Jakarta Pusat Telp: 345365
Alamat Kantor : Gedung Dewan Pers Lantai IV, Jalan Kebon Sirih 34, Jakarta Pusat Telp: 353131, 353175
|
|
H. ROSIHAN ANWAR GELAR SUTAN MALINTANG
Sebagai wartawan free lance, dalam beberapa tahun belakangan ini tidak selamanya enak. Sebuah majalah yang terbit di Jakarta, misalnya, memberinya honor "X" rupiah, untuk sebuah artikelnya. Pada kesempatan lain, Rosihan mengirimkan lagi tulisannya ke majalah itu. Kali ini, lantaran tulisannya lebih pendek, honornya menjadi "X-minus-sekian" rupiah. "Rupanya, majalah itu membayar berdasarkan panjang pendeknya tulisan. Jadi, saya diukur sebagai penulis sentimeteran, setingkat dengan serdadu sewaan," tutur Rosihan. "Martabat saya tersinggung."
Peristiwa lain, pada 1980-an ini, sebuah penerbit di Bandung mengiriminya wesel Rp 1.084 untuk sebuah karangan yang dipublikasikan penerbit tersebut. "Akibatnya, timbul rasa kasihan, atau self pity, pada diri sendiri: bagaimana bisa hidup sebagai pengarang atau penulis di negeri ini?" ujarnya.
Penghasilannya memang tidak menentu. Kegiatannya menulis di penerbitan asing, antara lain di Straits Times, Singapura, dan New Straits Times, Kuala Lumpur, sudah pula ia hentikan. "Saya sudah malas menulis," katanya. "Soalnya, salah tulis bisa gawat akibatnya."
Namun, semangat bekas pemimpin redaksi harian Pedoman, yang ditutup pemerintah pada 1974 karena dianggap turut memanaskan situasi sebelum Peristiwa 15 Januari tahun itu, bukannya redup. "Saya ingin ada yang mau menghidupkan kembali Pedoman. Koran- koran seperti Indonesia Raya dan Abadi saya harap juga ada yang menegakkan lagi, meskipun semua itu dipimpin orang-orang baru, bukan lagi yang dulu," katanya. "Ini demi kesinambungan sejarah, untuk kesadaran historis bangsa Indonesia."Ia sudah menulis lebih dari dua lusin buku. Pada 1983, adalah Menulis dalam Air -- sebuah autobiografi. Rosihan mengaku menulis buku itu sebagai cermin wartawan yang hidup dalam tiga zaman, dengan pelbagai pengalaman. "Barangkali ada gunanya untuk diketahui generasi muda," katanya.
Oleh S. Tasrif, S.H., tokoh pers dan ahli hukum senior, Rosihan dijuluki "A footnote of history" -- sebuah catatan kaki dalam sejarah.
Pada awal 1940-an, Rosihan merintis karier sebagai reporter Asia Raya. Ketika Clash ke-II berkecamuk, sebagai wartawan Pedoman, ia ikut sibuk di Yogyakarta, ibu kota Republik waktu itu. Di masa Kemerdekaan, selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ketika kemudian kedudukannya digantikan oleh Harmoko (kini menteri penerangan), Rosihan menjadi Ketua Pembina PWI Pusat. Sejak itu pula ia banyak menerima ajakan memberikan ceramah dan menjadi penatar berbagai Karya Latihan Wartawan (KLW).
Bersama Usmar Ismail, pada 1950 ia mendirikan perusahaan film Perfini. Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri.
Rosihan anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Almarhum Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang. Menjelang kelahirannya, sang ayah berkelahi dengan perampok. Seolah-olah hendak melestarikan semangat perlawanannya kepada kebatilan, bayi lelaki yang lahir setelah perkelahian itu diberi nama Rozehan, berarti Sinar Cahaya -- yang belakangan berubah menjadi Rosihan.
Di masa tuanya, setiap pagi Rosihan berjalan kaki 40 menit. Sementara itu, ia tak melepaskan kebiasaannya mengisap cerutu bermerk Schimmel Penning. "Saya isap lima batang satu hari," katanya. "Pagi, siang, waktu minum teh di sore hari, malam, dan ketika menjelang tidur." Ia menikah dengan Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi dan dikaruniai tiga anak.
|