Nama : HARMOKO
Lahir : Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari 1939
Agama : Islam
Pendidikan : SD
- SMP
- SMA
- Pendidikan Jurnalistik
- Kursus Lemhanas (1975)
Karir : - Wartawan harian Merdeka & majalah Merdeka (1960-1965)
- Wartawan harian Angkatan Bersenjata (1964)
- Wartawan harian Api (1965)
- Pemimpin/Penanggung Jawab harian Merdeka (1966-1968)
- Pemimpin Redaksi majalah berbahasa Jawa Merdiko (1965)
- Pemimpin Redaksi mingguan Mimbar Kita (1968)
- Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi harian Pos Kota (1970-1983)
- Pemimpin Umum & Pemimpin Redaksi harian Terbit d/h Pos Sore(1972)
- Pembantu Ahli Majalah Ketahanan Nasional (1976)
- Ketua Umum PWI Jaya (1970-1972)
- Ketua Umum PWI Pusat (1973-1983)
- Menteri Penerangan (1983-sekarang)
Kegiatan Lain : - Anggota BSF (1974-1978)
- Anggota Dewan Pers
- Anggota DPR/MPR
- Ketua KONI Pusat Bidang Litbang
- Wakil Presiden Konfederasi Wartawan ASEAN
Alamat Rumah : Jalan Pulo Asem Utara Raya 18, Jakarta Timur Telp: 487103
Alamat Kantor : Jalan Merdeka Barat 9, Jakarta Pusat Telp: 377408
|
|
HARMOKO
Membuka pameran 120 kartun karya 31 kartunis di Galeri Taman Impian Jaya Ancol, Februari 1985, Menteri Penerangan ini bukan menggunting pita, melainkan diminta menggambar kartun.
Sejenak ia tertegun. Kemudian, diambilnya spidol hitam. Di atas kanvas yang disediakan, ia menggambar sosok orang berpakain wayang, dinamai Mono. Memang, mirip Mono, tokoh pelawak Ria Jenaka, yang selalu muncul di televisi tiap hari Minggu siang.
Di samping itu, digambarnya pula orang berpakaian masa kini, dinamakan Poli. Ia lantas menggambar jalan bercabang. Di bawah Mono dan Poli, ia menggambar orang mengucapkan: "Tuan Mono ke kiri, dan tuan Poli ke kanan. Silakan!" Di sudut kanan bawah, dibubuhkannya nama sang kartunis, Harmoko. "Dulu, inisialnya: HR Mok," kata seorang kartunis di situ.
Kartun sang menteri yang dibuat spontan itu menyindir pendapat yang simpang-siur tentang monopoli. "Pembangunan tidak hanya diisi catatan angka keberhasilan, juga kita butuh kritik sosial," komentar kartunis koran Merdeka 1960-an ini.
Ia mengaku, cita-citanya menggeluti dunia koran, "Tumbuh di pengungsian." Pada awal zaman Kemerdekaan, ia sering diminta membacakan koran kepada para petani di gardu ronda malam. Anak ketiga dari sepuluh bersaudara ini saat itu baru kelas dua SD. Ayahnya, Pawiro Samirun (almarhum), petani yang konon pernah memimpin perkumpulan wayang orang, ketoprak, dan ludruk di desanya.
Tidak heran, Harmoko kecil juga menggemari wayang dan gamelan. "Malah pernah sekolah dalang di Surakarta," tutur sang ayah. Selain mendalang, ia mencoba berulang kali mengarang. Tulisannya dikirimkan ke majalah Panyebar Semangat. Tetapi tidak pernah dimuat. "Karena kurang baik," katanya.Rajin membaca di perpustakaan desa, lepas SMA ia menempuh pendidikan jurnalistik. Lalu ke Jakarta, sebagai wartawan. Ia pernah bekerja di harian dan majalah Merdeka, Angkatan Bersenjata, dan Api. Pada 1965, ia pemimpin redaksi Merdiko,majalah berbahasa Jawa. Setahun kemudian, ia pemimpin/penanggung jawab harian Merdeka, hingga 1968.
Bersama beberapa kawannya, Harmoko menerbitkan harian Pos Kota, 1970. Lingkup pemberitaannya, Jakarta dan sekitarnya. Pada 1983, oplah korannya mencapai 200 ribu eksemplar. Sementara itu, ia Ketua PWI Jaya (1970-1972), dan terpilih sebagai ketua PWI Pusat, selama dua periode, hingga 1983. Ia juga anggota Dewan Pers, DPR/MPR, dan Wakil Ketua Konfederasi Wartawan Asean.
Menuturkan pengalaman pahit di masa Orde Lama, ketika koran- koran Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) ditutup, "Saya tidak mau jadi penganggur," kata Harmoko. Lantas ia berdagang telur dan beras di Stasiun Gambir.
Sekarang, setelah menjadi menteri penerangan, "Darah dan daging saya tetap wartawan," katanya. Bersama Menaker Sudomo dibicarakannya masalah perlindungan bagi wartawan sebagai tenaga kerja profesional, 1984. Setahun kemudian, ia menetapkan Hari Pers Nasional, 9 Februari, berdasarkan hari kelahiran PWI, 36 tahun lalu.
Ia juga membentuk Pusat Informasi Pesantren (PIP) di berbagai daerah. "Komunikasi tatap muka akan terus diperlukan," ujarnya. Ia lalu ber-"Safari Ramadan" ke enam provinsi di Sumatera, mengadakan sarasehan dan ceramah di masjid-masjid, dan di depan para transmigran.
Menurut istrinya, Sri Romadhyati, ayah tiga anak ini, "Lugu, tidak terlalu rewel, dan masakan kesukaannya: nasi pecal, rempeyek, dan serundeng." Kegemaran lain Harmoko, yang pernah terpilih sebagai Pria Berbusana Terbaik, ialah memelihara ayam jago.
|