Nama : Alfons Taryadi
Lahir : Wedi, Klaten, Jawa Tengah, 11 Mei 1936
Agama : Katolik
Pendidikan : - Pontifical Athaeneum, Poona, India (Licentiate in Philosophy, 1965)
- Jurusan Filsafat Fakultas Sastra UI (S1, 1979)
Karir : - Editor majalah Intisari (1966-1968)
- Editor Pendidikan dan Kebudayaan Kompas (1968-1979)
- Dosen Epistemologi Jurusan Filsafat Fakultas Sastra UI (1979-1980)
- Managing Editor Kompas (1979-1982)
- Wakil Kepala Divisi Penerbitan PT Gramedia (1983-1986)
- Kepala Divisi Penerbitan Buku PT Gramedia (1986-1990)
- Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi majalah Info Komputer (1987-1996)
- Presiden Direktur PT Sarana Informatika (1987-1996)
- Presiden Direktur PT Elex Media Komputindo (1987-1996)
- Presiden Direktur PT Gramedia Widiasarana (1990-1996)
- Presiden Direktur PT Gramedia Pustaka Utama (1990-1996)
- Wakil Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia (1990-1996)
- Presiden Direktur Lembaga Elti Gramedia (1990-1996)
- Pemimpin Umum majalah Foto Media (1993-1996)
- Dosen Manajemen Pers di Politeknik Penerbitan dan Grafika, Jakarta (1997-1999)
Kegiatan Lain : (Kedudukannya saat ini)
- Komisaris PT Gramedia Pustaka Utama, PT Elex Media Komputindo, PT Gramedia Widiasarana, Pt Sarana Informatika
- Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
- Ketua I Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI)
- Ketua Ikatan Sarjana Filsafat Indonesia cabang DKI Jaya
- Wakil Ketua Yayasan Bhumiksara
- Pendiri dan Wakil Ketua Yayasan Adikarya Ikapi
- Koordinator Program Pustaka Ikapi-Ford Foundation
- Koresponden Indonesia untuk Asian/Pacific Book Development sejak 1998
Karya : Buku :
- Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper (1989)
- Strategi Pengembangan Perbukuan Nasional (bersama Bun Yamin Ramto dan Zakarsyi Nurdin, 1995)
- Wanita I, II, terjemahan dari The Female karya I Paul Wellman (1975)
- Buku dalam Indonesia Baru (kata pengantar dan editor, 1999)
- Papilon I, II, terjemahan dari Daughter of Silence karya Morris West (1979)
- Rahasia Shambala terjemahan dari The Secret of Shambhala karya James Redfield (2001)
Keluarga : Istri : Maria Theresia Sri Suhesti
Anak : 1. Gregorius Pax Benedanto
2. Roberta Fifin Amandaningrum
3. Agnes Sofia Verityastuti
4. Fransisca Edita Andar Utami
Alamat Rumah : Jalan Utan Kayu No. 73, Jakarta
Telepon 8562189
Faksimile 8518051
|
|
Alfons Taryadi
Seluruh hidup Alfons Taryadi sepertinya diabdikan untuk dunia perbukuan. Mulai dari menerjemahkan buku, menulis atau mengedit buku, aktif di Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), sampai menjadi direktur utama di penerbitan besar, Gramedia. Pensiun dari Gramedia, 1996, ia masih berkutat pada perbukuan. Selain menjadi Ketua I Dewan Pertimbangan Ikapi dan Koordinator Program Pustaka Ikapi-Ford Foundation, ia sedang menggagas Dewan Buku Nasional bersama Menteri Pendidikan Nasional.
Ketika pensiun dari Gramedia, ia minta pesangon berupa perpustakaan. Oleh Jacob Oetama, pendiri dan pucuk pimpinan Kelompok Kompas-Gramedia, permintaan itu dipenuhi. Di samping rumah Alfons dibuatkan perpustakaan dan kebun. Dengan demikian, Alfons bisa menyalurkan hobi: membaca, menulis, dan merawat anggrek. Saat ini, pria yang menguasai empat bahasa asing ini rajin menerjemahkan buku spiritual new age, semacam novel-novel James Redfield. Menerjemahkan buku-buku bagus, kata Alfons, sekalian untuk sarana belajar style.
Walau berasal dari keluarga kurang berada, dan ayahnya tak tamat sekolah dasar, bahkan ibunya buta huruf, sejak kecil Alfons sudah menyukai buku. Bagi pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, ini buku apa pun yang bisa ia dapatkan, dibacanya, termasuk Kitab Suci. Suatu ketika, bungsu dari sebelas bersaudara ini sampai lupa mengaduk nasi gara-gara baca. Ayahnya marah. €œNgapain membaca buku. Memangnya kamu akan makan dari buku,€ kata Alfons menirukan ucapan ayahnya. €œSaya terkesan dengan ucapan 'makan dari buku' itu. Sekarang saya makan dari buku dalam arti yang sesungguhnya,€ tuturnya.
Hobi tersebut betul-betul termanjakan sewaktu pada usia 17 tahun ia masuk Seminari Martoyudan, Magelang, yang memiliki koleksi buku sangat lengkap. Apalagi salah seorang pastur di sana mengkondisikan Alfons untuk mencintai buku sastra dan humaniora. Oleh pihak seminari, akhirnya Alfons disekolahkan di Poona, India, mengambil jurusan filsafat, sampai dapat lisensi mengajar filsafat.
Namun, karena ada keraguan dan ketakutan tak patut dan tak kuat menyandang posisi pastur, akhirnya, setahun setelah pulang dari India pada usia 29 tahun, ia keluar dari seminari. Padahal tak lama lagi ia akan menjadi pastur, tinggal belajar teologi, semedi di Girisonta di Ungaran dan puasa bicara selama satu bulan. Keluarganya sempat kecewa karena menjadi pastur adalah suatu kehormatan. €œSaya merasa tidak punya keseimbangan mental, kalau setiap kali saya ragu-ragu apa saya bisa menunaikan tugas sebagai pastur,€ ujarnya.
Lalu Alfons masuk grup Kompas, mengawali karir sebagai editor majalah Intisari, sebelum ditugaskan sebagai editor kebudayaan Kompas. Untuk mendukung profesi tersebut, ia nyambi kuliah filsafat di UI.
€œMakan dari buku€ atau karir dalam perbukuan ia mulai sebagai penerjemah. Cerita bersambung yang ia terjemahkan dari karya Theodora Paul Wellman, berjudul The Female, dimuat di Kompas dan meledak. Ketika ada misi penerbit Inggris berkunjung ke Ikapi, Alfons ditunjuk untuk memandu mereka mengenalkan dunia buku Indonesia. €œSaya siapkan bahannya. Saya tulis dalam bahasa Inggris, direkam, dan dibacakan di depan cermin. Akhirnya, saya memimpin misi itu sampai sukses,€ tuturnya. Setelah itu menggelindinglah kesempatan lain, diantaranya diundang ke luar negeri menjadi pembicara pada forum buku internasional.
Selain itu, Alfons menulis kesenian dan budaya di berbagai media, bergaul dengan seniman, ikut teater keliling, dan sempat bergabung dengan Sanggar Prativi bermain drama, serta pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Kunci suksesnya: antusias, terbuka, dan respons total. €œKita melakukan apa pun dengan kepenuhan luar biasa. Salaman dengan total. Makan dengan total,€ katanya.
Sebagai praktisi perbukuan, ia melihat bahwa perhatian kolektif sebagai bangsa terhadap perbukuan masih kurang. Di Australia, kata Alfons, pengarang diberi subsidi untuk menulis seumur hidup. Tapi, bila dibandingkan dengan zaman ketika Alfons masih muda, sekarang ada peningkatan, terutama pada penerbitan buku-buku terjemahan, kendati kualitas penerjemahannya banyak yang amburadul.
Waktu untuk membaca tidak dijatahkannya secara ketat. Kadang sehari berkebun, kadang seminggu membaca, sampai lupa makan minum. Bujet pengeluaran untuk buku kadang sehari bisa Rp 4 juta. €œSekarang jika membuang uang untuk buku rasanya tidak mikir,€ ujar pengagum Romo Mangunwijaya ini.
Alfons menikah di Yogya, dengan Maria Theresia Sri Suhesti, seorang perawat di RS Carolus Jakarta, pada 1968. €œKetika menikah, saya bingung kok bisa jadi suami orang. Padahal saya begitu lama di seminari. Saya merasa aneh tiba-tiba jadi suami orang dan setahun kemudian menjadi ayah,€ kenangnya. Kini Alfons ayah empat anak. Ia mengaku, cara mendidik anak sangat demokratis. Selain kepada anak-anaknya, ia biasa menceritakan pengalamannya kepada keponakannya yang tinggal di rumahnya -- yang sampai 12 orang. Untuk mereka, setiap pulang dari keluar kota atau luar negeri, ia selalu membawa oleh-oleh buku. €œNdilalah, anak saya tidak pernah disuruh membaca, tetapi sudah rebutan membaca,€ ujarnya.
|