Nama : Amrozi
Lahir : Lamongan, Jawa Timur, 6 Juni 1963
Agama : Islam
Pendidikan : - SMP Korpri di Paciran, Lamongan
- Madrasah Aliyah di Lamongan (tidak lulus)
Karir : - Tukang reparasi motor dan mobil
- jual-beli handphone
Keluarga : Ayah : H Nur Hasyim
Ibu : Hj Tariyem
Istri : Choiriyana Khususiyati
Anak : 1. Mahendra (buah perkawinan dengan istri pertama, Rochmah)
Saudara Kandung : 1. M Khozin
2. Ja'far Shodiq
3. Tafsir
4. Hj Afiyah
5. Alimah
6. Ali Gufron
7. Ali Imron
Alamat Rumah : Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur
|
|
Amrozi
Nama Amrozi langsung melambung tatkala polisi menangkapnya sebagai tersangka peledakan bom di Legian, Kuta, Bali. Tidak hanya di Tanah Air, tetapi juga sampai di mancanegara, Tragedi Bali itu menewaskan 186 orang dan menjadi berita besar. Andil Amrozi dalam kasus itu, sepanjang yang telah diketahui, adalah sebagai pelaku pembelian bahan peledak di Toko Tidar Kimia di Surabaya. Tapi pengacaranya tak percaya bahwa bahan itu untuk dibuatkan bom.
Namun dia juga membeli sepeda motor Yamaha F1 ZR merah di sebuah agen di Denpasar, Bali. Belakangan, sepeda motor itu dilihat oleh salah seorang saksi sedang dituntun seorang lelaki berambut pendek ”yang belakangan terungkap bernama Ali Imron, adik Amrozi” masuk ke dalam sebuah rumah di kawasan Jalan Pulau Ceningan pukul 01.30 waktu setempat pada 13 Oktober 2002. Di sepeda motor itulah ditemukan bom, yang untungnya tidak sempat diledakkan.
Amrozi, 39 tahun, warga Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur. Ayahnya, H. Nur Hasyim, yang selama 32 tahun bekerja sebagai carik (sekretaris desa). Sebuah jabatan terpandang bagi warga desa. Ibunya, Hj. Tariyem, ibu rumah tangga. Ia tumbuh sebagai remaja yang doyan kebut-kebutan. Di saat teman-teman sekolahnya paling banter bisa mengendarai sepeda ke sekolah, ia mengendarai sepeda motor. Selain itu, ia suka memelihara rambut gondrong, lebih sering nongkrong di warung kopi dibanding mengaji di masjid. Ini yang mungkin membuatnya drop out dari Madrasah Aliyah ketika di kelas dua. Ia hobi menembak burung bersama Qomaruddin-- pensiunan polisi hutan Dadapan, Kecamatan Solokuro, Lamongan.
Namun Amrozi, menurut Qomaruddin, adalah sosok yang sopan dan sering menyapa dengan baik orang-orang yang lebih tua maupun yang lebih muda. Keahliannya memperbaiki sepeda motor, yang diperolehnya dari sebuah kursus montir di Surabaya.
"Dia itu pintar ndandani motor dan mobil," ujar Qomaruddin. "Saat motor saya rusak, kadang saya bawa ke bengkelnya," lanjutnya. Amrozi pernah mendirikan bengkel bersama Ali Imron.
Dengan wajahnya yang ganteng, gaul, dan anak carik, Amrozi banyak dikagumi gadis di desanya. Pada 1985, saat baru 22 tahun, Amrozi menikahi Rochmah, si kembang desa Sugihan, Solokuro. Pasangan ini dikaruniai anak, Mahendra. Tetapi pernikahan itu hanya bertahan satu setengah tahun, lantaran Amrozi tidak pernah memberi nafkah.
"Akhirnya Rochmah memutuskan meminta cerai," kata Qomariah, ibu Rochmah.
Tak lama menduda, pada 1990 Amrozi menikah dengan Astuti, gadis asal Desa Pelirangan, Solokuro. Pernikahan ini pun tidak berlangsung lama. Setahun kemudian, ia pergi merantau ke Malaysia. Di sana ia ikut kakaknya, Ali Gufron, di Johor, Malaysia. Tapi istrinya, Astuti, tak yakin suaminya ke Negeri Jiran untuk mencari ringgit. Karena ditelantarkan, tak diberi nafkah, Astuti minta cerai, yang menjadi resmi pada 1993.
Pulang ke Lamongan, 1999, Am ”demikian panggilan akrabnya” tampak alim walau gaya pakaiannya tak berubah: mbois. Ia jarang bergaul. Kalau berada di rumah, waktunya digunakan untuk membaca buku-buku agama. Tahun itu juga, ia menikahi Choiriyana Khususiyati asal Kabupaten Madiun, yang ia kenal di Malaysia. Tidak memiliki rumah sendiri, ia dan istrinya tinggal bersama ibu dan bapaknya yang sederhana.
Lelaki yang tinggal di desa agak terpencil di pesisir utara Jawa ini memiliki ponsel (HP) dan alat penyeranta (pager) Motorola bernomor 609358 yang dioperasikan oleh Nusapage di Surabaya. Pager warna putih kusam dengan rantai pengait ke ikat pinggangnya yang sudah karatan itu telah diblokir sejak 31 Agustus 2002. Am bahkan dikenal sebagai ahli servis HP, juga mampu membuat antenanya. Terakhir, ia berjual beli handphone. Ia sempat mengajak Ustadz Zakaria, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Islam, Solokuro, menanam modal. Tertarik, sang ustadz memberinya uang Rp 10 juta.
"Rp 5 juta sebagai saham saya dan Rp 5 juta sebagai utang Amrozi. Dia bilang, persis sebulan, yakni 25 November nanti, saya sudah bisa mendapatkan untung," papar Zakaria. Keuntungannya berkisar Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu.
Sayangnya, kini Amrozi tak lagi bisa melanjutkan bisnisnya "yang katanya maju" itu. Ia terpaksa mendekam di tahanan Polda Bali, sebagai tersangka peledakan bom yang menewaskan 186 orang itu. Ia bisa terkena hukuman mati atau minimal 15 tahun penjara berdasarkan Perpu Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. |