Nama : MAHAR MARDJONO
Lahir : Semarang, 8 Januari 1923
Agama : Islam
Pendidikan : - ELS, Pare (1936)
- HBS, Malang (1941)
- Geeneskundige Hogeschool/Ika Daigaku, Jakarta (1942/1945)
- FK UI (1952)
- Pendidikan Neurologi, Universitas California, San Francisco, AS (1955)
- FK UI (doktor, 1963)
- Pendidikan militer Peta
Karir : - Anggota Kelompok Prapatan 10 (1945)
- Anggota PMI di Front Bekasi (1945)
- Komandan Pangkalan AL di Situbondo, Ja-Tim
- Kepala Bagian Neurologi FK UI (1957-1974)
- Dekan FK UI (1970-1974)
- Rektor UI (1974-1982)
- Konsultan ahli pada beberapa rumah sakit di Jakarta (sejak 1956)
- Ketua CHS (Consortium of Health Sciences) (1970-sekarang)
- Anggota Tim dokter ahli kepresidenan RI (1974-sekarang)
- Ketua Umum PB IDI (1982-1985)
- Guru besar dalam Neurologi FK UI (1964-sekarang)
Kegiatan Lain : - Pendiri/Ketua Perkumpulan Ahli Neurologi, Psikiatri, dan Neurosurgery (1962)
- Anggota Kehormatan French Society of Neurology
- Ketua Perhimpunan Persahabatan IndonesiawBelanda (1983- sekarang)
- Ketua Presidium Fiska (Forum Indonesia untuk Swadaya Kependudukan) (1983-sekarang
- Ketua Skalu
- Penasihat jurnal kedokteran dan farmasi Medika
- Anggota World Federation of Neurology
Karya : - Antara Lain: Neurologi Dasar, Gita Karya, 1967
- Pengobatan Penyakit Saraf, Dian Rakyat, 1967
- Buku Pelajaran Neurology Dasar, (bersama Priguna Sidharta), Dian Rakyat, 1971
- Neurologi Klinik Dasar, Dian Rakyat, 1981
Alamat Rumah : Jalan Senayan 16, Blok S, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 770621
Alamat Kantor : Fakultas Kedokteran UI Jalan Salemba Raya 4, Jakarta Pusat Telp: 343021 -- 7 pesawat 354
|
|
MAHAR MARDJONO
Setelah sembilan tahun yang penuh "ketegangan", menjadi Rektor UI (1973-1982) tibalah masa santai bagi Mahar Mardjono. Begitu mungkin anggapan orang. Ternyata, tidak. Jabatan Ketua Umum P.B. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang kemudian dipangkunya, ternyata juga menyita pemikiran. Padahal, usianya telah di atas 60 tahun.
Dalam masa kerektorannya, dua peristiwa sempat menjadi batu ujian ketahanan mental ahli saraf pertama Indonesia ini. Pertama, Peristiwa Malari 1974, yang dikaitkan dengan aktivitas sejumlah mahasiswa UI. Lalu, 1978, Mahar harus berhadapan dengan mahasiswanya sendiri, setelah kebijaksanaan "normalisasi kampus" diturunkan oleh Menteri P & K Daoed Joesoef. Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sebagai pengganti Dewan Mahasiswa ditolak, dan Mahar Mardjono sempat mengeluarkan "ancaman" mundur sebagai rektor. Mahasiswalah kemudian yang mengalah.
Ia sendiri menilai "keresahan" mahasiswa waktu itu inherent dengan kehidupan mereka. "Apalagi di Indonesia, yang tradisi mahasiswanya selalu bergejolak," kata Mahar, Februari 1980.
Saat ia menjabat Ketua Umum IDI, sekitar 45 dokter dituding terlibat "sindikat perdagangan obat". "Perbuatan dokter yang melanggar kode etik itu menurunkan citra dokter, khususnya PB IDI," ujar Mahar. Tiga dokter yang dinilai bersalah mendapat peringatan.
Pada 1984, Ketua Umum IDI itu direpotkan pula oleh praktek dokter merangkap dukun ("terkun"). Ini bermula dari cara perawatan dr. Gunawan Simon terhadap penyakit kanker hati Adam Malik almarhum -- yang dianggap menyalahi ketentuan ilmu kedokteran yang lazim. Misalnya: meracik sendiri obat yang dibeli dari apotek. Sambil mempersalahkan Simon, guru besar FK UI itu membedakan antara dukun dan pengobatan tradisional. "Pengobatan tradisional tetap mempunyai tempat di mana pun. Apalagi di negara berkembang seperti di Indonesia," kata Mahar.
Masa kecil Mahar sebagai anak kedua dari empat bersaudara dr. Mardjono Martosoedirdjo cukup enak. Bercita-cita menjadi dokter seperti ayahnya, ia melanjutkan di Geneenskundige Hoge School, Jakarta, yang terhenti karena masuknya Jepang. Anak kelahiran Semarang itu lalu masuk sekolah kedokteran, Ika Daigaku, sambil latihan militer di Peta. Ikut bergerilya di kawasan Bekasi, Jawa Barat, dalam awal masa Kemerdekaan, Mahar kemudian bergabung dengan TNI-AL di Surabaya. Ia berhenti dari dinas militer saat masuk fakultas kedokteran di Malang, yang belakangan dipindahkan ke Solo -- tetapi gelar dokter ia ambil di Jakarta.
Jumlah 20 ribu dokter di antara 160 juta penduduk Indonesia diakuinya tidak memadai. Itu berarti satu dokter untuk setiap 8.000 penduduk -- sedangkan yang berimbang adalah satu berbanding dua ribu, atau tiga ribu. "Tapi di negeri berkembang tak mungkin dihitung begitu," kata ayah tiga anak itu. "Karena itu, ada sistem lain, sistem puskesmas, sistem paramedis. Sayangnya, paramedis juga makin langka, orang mau langsung jadi dokter saja."
Secara pribadi, Mahar tidak setuju dengan hak pasien untuk mati (euthanasia). "Untuk Indonesia belum bisa," ujar Ketua Forum Indonesia untuk Swadaya Kependudukan (Fiska) itu. Yang disesalinya adalah harga obat. "Paling mahal di dunia."
Neurolog yang masih berpraktek di RS St. Carolus Jakarta ini mengatakan, penyakit saraf bisa mematikan kalau tidak cepat ditangani. Ada pengalaman menarik tentang itu. Suatu ketika, Mahar didatangi seorang anak muda yang mengaku mahasiswa di Amerika. Ia ingin check up. "Lho, kenapa mau check up? Kamu 'kan enggak ada penyakitnya," ujar dokter yang jenaka itu. "Sudah lupa sama saya, ya?" balas si anak muda. "Dokter 'kan yang mengobati saya dulu, ketika saya hampir mati?"
Mahar Mardjono, yang menikah dengan Sri Djati Dradjat, 1956, dahulu suka menunggang kuda. Sekarang, "Tidak lagi, takut jatuh," kata profesor yang masih main golf dan jalan kaki.
|