Nama : MELY G. TAN
Lahir : Jakarta, 11 Juni 1930
Agama : Katolik
Pendidikan : - HCS, Jakarta
- HBS, Jakarta (1949)
- Fakultas Sastra Jurusan Sinologi Universitas Indonesia, Jakarta (1959)
- Universitas Cornell, Ithaca, New York (M.A. 1961)
- Universitas California, Berkeley, AS (Doktor, 1968)
Karir : - Staf Peneliti Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas) LIPI (1963)
- Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan Leknas LIPI (1969- 1978)
- Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia (1969-sekarang)
- Dosen Sespa LAN (1974-sekarang)
Kegiatan Lain : - Sekretaris Umum Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (1975-1979)
- Anggota Panitia Pengarah Task Force on Psychosocial Research in Family Planning WHO, Jenewa, Swiss (1977-sekarang)
- Anggota redaksi majalah Masyarakat Indonesia dan majalah Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Karya : - The Chinese of Sukabumi, Cornell University 1963
- The Chinese in the United States, The Orient Cultural Service, 1971
- Sosial and Cultural Determinants of Family Planning Services, Leknas LIPI 1974
- Golongan Etnis di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesehatan Bangsa, ed, Gramedia 1979
- Ethnicity and Fertility in Indonesia, Institute of South East Asian Studies, Singapura, 1985
Alamat Kantor : Leknas LIPI, Jalan Gondangdia Lama 39, Jakarta Pusat
|
|
MELY G. TAN
Sosiolog yang juga sinolog ini dikenal gesit dan seperti tidak pernah capek. Mely G. Tan rajin berseminar, termasuk di sebagian besar dari 30 negara yang pernah dikunjunginya. Ia giat menulis. Di samping beberapa buku, sekitar 25 kertas kerjanya telah diterbitkan. Artikelnya bertebaran di sejumlah media cetak.
Komentarnya tajam dan mengena sasaran. Dalam majalah Femina, 11 September 1984, ia mengkritik film Indonesia yang sering memperagakan adegan "buka-bukaan", yang memperlakukan wanita sebagai obyek seks. Di pihak lain, katanya, berbagai organisasi wanita dan kaum ilmuwan mengadakan seminar dan kegiatan yang ingin menemukan cara peningkatan harkat wanita. "Bagaimana menjelaskan keadaan paradoksal ini?" kata Mely.
Media cetak juga kena sindir. Yang menjadi sasarannya adalah kebiasaan pers Indonesia memakai motto muluk-muluk. "Empat dari sembilan mengatasnamakan rakyat," katanya. Beberapa contoh: "Suara Rakyat Membangun", "Suara Rakyat Republik Indonesia", "Amanat Hatinurani Rakyat", dan "Untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia". Bandingkan, katanya, dengan motto The New York Times, yang cuma memakai "All the news that's fit to print" -- "Semua berita boleh disiarkan".
Lahir di Jakarta dengan nama Tan Giok Lan (atau bisa juga dieja dengan Ch'en Yup4-lan), Mely di masa mudanya sudah ingin menjadi sinolog. Karena itu, ia masuk FS UI Jurusan Sinologi, rampung pada 1959. Senang bergaul dan menyimak tingkah laku manusia, ia lalu mengembangkan minatnya ke Jurusan Sosiologi. "Ini menjadi perhatian dan pembawaan saya, daripada diam di belakang meja atau di perpustakaan," tutur wanita berambut pendek yang kini menjadi peneliti Leknas LIPI ini.
Mely kemudian berangkat ke New York, AS, untuk mengambil gelar M.A. sosiologi pada Universitas Cornell, 1961. Gelar Ph.D. diraihnya tujuh tahun kemudian dari Universitas California di Berkeley. Disertasinya berjudul Social Mobility and Assimilation: The Chinese in the United States. Sebagai buku, disertasi ini terbit di Taiwan pada 1971.
Minat utama dosen tidak tetap Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI ini memang terhadap golongan minoritas, di samping kaum wanita. Pada 1979, terbit bukunya Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, yang telah mengalami cetak ulang. Setahun kemudian, beredar buku Wanita Kota Jakartaw Kehidupan Keluarga dan Keluarga Berencana, terbitan Population Council, New York. Di sini, Mely menjadi co-author bersama penulis dari sembilan negara lainnya.
Lewat Sinar Harapan, 11 Agustus 1985, ia sempat membuat tinjauan sosiologis lima windu Indonesia merdeka. Menelusuri 40 tahun sejarah Republik Indonesia, tulis Mely, ada kesan bahwa pada tahun-tahun pertama kemerdekaan masyarakat kita sangat terbuka. Yang ningrat menanggalkan gelar keningratannya, dan sampai ke pejabat tertinggi dipanggil "Bung".
|