Nama : Mohamad Sobary
Lahir : Bantul, Yogyakarta, 7 Agustus 1952
Agama : Islam
Pendidikan : - SD di Bantul, Yogyakarta
- SMP Negeri XII Wijaya, Jakarta (1968)
- Sekolah Pekerja Sosial Atas Negeri, Jakarta (1972)
- FISIP Universitas Indonesia (1980)
- Monash University (1991)
Karir : - Kepala Bagian Humas Universitas Jayabaya (1988)
- Dosen Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (1983-1984)
- Dosen Universitas Muhammadiyah, Jakarta (1984-1985)
- Peneliti Bidang Agama dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1983-sekarang)
- Pemimpin Umum LKBN Antara (2000-sekarang)
- Menulis kolom di majalah Tempo, Harian Kompas, Harian Jawa Pos
Kegiatan Lain : Divisi Komunikasi Yayasan Indonesia Sejahtera (1979-1983)
Karya : Buku:
- Kang Sejo Melihat Tuhan
- Moralitas Kaum Pinggiran
- Tamu Allah
- Fenomena Dukun dalam Budaya Kita
- Sasmita Tuhan
- Kebudayaan Rakyat, dll.
Penghargaan : Sudarpo Award/Rotary International dan dilantik sebagai Paul Harris Fellow 2 September 2000
Alamat Kantor : Wisma Antara Lt. 3, Jalan Medan Merdeka Selatan No. 17, Jakarta 10110
Telepon (021) 3862438
|
|
Mohamad Sobary
Penampilannya yang ndeso bikin banyak orang terkecoh. Ceritanya, suatu ketika Sobary diminta menulis di Republika. Karena tidak punya komputer, ia menulis di komputer redaksi surat kabar tersebut. Seorang wartawan muda, menceramahinya bagaimana menulis dengan baik. Lalu ada wartawan lain yang kenal Sobary dan mencolek si wartawan muda, "Kamu ini bagaimana sih, itu kan Mohamad Sobary." Si wartawan muda balik lagi ke Sobary dan berkata, "Mas, saya minta maaf, saya enggak tahu kalau sampeyan ini Ahmad Sobary."
Sobary sendiri menyadari penampilannya yang "kampungan". Karena itu, katanya, "Saya pernah tidak dianggap." Ketika kali lain ia diundang jadi pembicara sebuah seminar di Jakarta, tak ada seorang pun yang menyapanya, termasuk panitia penyelenggara. "Padahal, saya duduk di sana sampai lama," ujarnya. Meskipun panitia mengumumkan bahwa pembicara Mohamad Sobary tidak datang, ia tetap naik ke panggung dan duduk di jajaran pembicara. Tapi karena kelamaan menunggu dan selalu dilewati oleh pembicara lain, ia kesal. Pura-pura ke kamar kecil, Sobary pun pulang.
Pada kesempatan lain, Sobary mengantarkan temannya seorang dokter bernama Diana ke sebuah bank di Jalan Sudirman, Jakarta. Ketika Diana masuk, ia mengikutinya di belakang. Lalu, apa yang terjadi? "Saya dibentak satpam dengan kejamnya, disuruh menutup pintu lagi. Mungkin saya dikira sopirnya Diana," paparnya. "Itu saya tulis di Kompas, tentang bagaimana orang suka meremehkan orang lain hanya dengan melihat penampilannya saja," tambah sang kolumnis produktif.
Kang Sobary -demikian ia biasa dipanggil- lahir pada zaman susah (1952), di Bantul, 35 kilometer selatan Yogyakarta. "Zaman saya kecil, mahal sandang-pangan, dan panen sering gagal. Musim kemarau bermunculan tikus-tikus yang melahap apa saja, termasuk menggerogoti telapak kaki ketika orangnya tidur," kenang Sobary.
Mengaku badung di waktu kecilnya, ia suka ngerjain orang- yang terbawa-bawa sampai ia dewasa. Hingga sekarang ia masih suka menjahili teman-temannya, seperti menyembunyikan sepatu mereka.
Lantaran tidak bisa beli seragam korp pelajar serbaguna ketika ia di kelas 5 SD, Sobary tidak bisa melanjutkan ke kelas 6. Akhirnya, "Saya stop di situ. Lagi pula orangtua saya tidak punya uang." Setelah orangtuanya berhasil mengumpulkan uang setahun kemudian, baru ia melanjutkan ke kelas 6. Nilai rapornya hampir semuanya 10, kecuali berhitung. "Bisa dibilang spektakuler untuk ukuran orang kampung," ujar Sobary, antara merendah dan bangga.
Ketika di kelas satu SMP Muhammadiyah Bantul, ia mengalami hal yang sama. Tak punya uang buat beli seragam, Sobary terhenti lagi sekolahnya. Pamannya yang bekerja di Departemen P&K berniat baik ketika memboyongnya ke Jakarta, meskipun ia miskin dan menanggung banyak anak. "Saya kerja, menyapu jalanan pasar Blok M," tutur Sobary. Uang hasil kerja ditabung untuk biaya melanjutkan ke kelas dua SMP Negeri 12 Wijaya, Jakarta Selatan, awal 1967.
Tak suka pelajaran berhitung, ilmu ukur, dan aljabar, Sobary bingung melanjutkan ke mana selepas SMP. Tadinya ia ingin meneruskan di sekolah menengah perhotelan agar bisa langsung kerja, tapi ia terlambat mendaftar. Akhirnya ia masuk sekolah pekerja sosial atas, "Yang belajarnya tanpa angka-angka. Cuma ada sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, ilmu bumi dan ilmu sosial, yang semuanya bisa dikerjakan sambil setengah mengantuk," paparnya.
Untuk membiayai pendidikannya, Sobary pernah pula bekerja sebagai tukang antar roti. Ia juga mengarang cerpen anak-anak di majalah Si Kuncung dan Kawanku- tonggak pertama Sobary belajar menulis. Ketika kemudian ia menulis novel Dalam Pengejaran, honornya yang diterimanya kala itu Rp 90 ribu. Dengan berbekal uang itu, ia pulang menjenguk ayahnya yang sakit dan menyerahkan padanya Rp 60 ribu. "Bapak gembira sekali, dan langsung sembuh," kenang Sobary.
Kembali ke Jakarta, sebagai lulusan terbaik di sekolahnya, ia dapat beasiswa dari Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Atas saran gurunya, Amir Mahtum, ia ikut tes di Universitas Indonesia, dan diterima di FISIP.
Karir penulisnya berproses terus selama kuliah. Menulis esai tentang pariwisata di majalah Gadis, Sobary dibanjiri surat dari cewek-cewek -- yang masih disimpannya sampai sekarang. Waktu itu pula ia mulai menulis resensi di koran-koran.
Lulus dari Universitas Indonesia (1980), Sobary pindah-pindah tempat kerja. Menjadi Kepala Biro Humas Universitas Jayabaya, ia tak betah. Bukan disebabkan jumlah gaji Rp 400 ribu yang cukup besar baginya waktu itu. "Karena di sana harus pakai jas dan dasi, sedangkan saya tidak pantas pakai dasi," Sobary berdalih. Kemudian ia mengajar sosiologi di Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia, Jakarta.
Akhirnya Sobary memilih menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Karena gajinya saat itu hanya Rp 35 ribu, katanya, "Saya sering minta uang ke (wartawan) Surasono di Tempo untuk beli susu." Merasa tidak enak minta-minta terus, ia mengajar sambilan di beberapa kampus. "Karena uang sudah cukup, akhirnya saya memutuskan pergi ke Australia," kata Sobary. Ia mengambil S2 di Monash University, Australia.
Pulang dari Australia, Sobary sempat jadi tukang ojek. Ceritanya, ia hendak riset tentang tukang ojek di Jakarta. Untuk riset, karena tak punya uang, ia minta ke Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Tempo. Lalu ia menyewa ojek untuk beberapa hari. "Tapi pada hari-hari tertentu, ojeknya saya bawa sendiri dan saya pun jadi tukang ojek di kompleks rumah saya," kisah Sobary. Uang hasil mengojek itu ia berikan pada pemilik sepeda motor. Kini, sampai jadi ketua Lembaga Kantor Berita Antara pun, ia masih suka naik ojek.
Sobary telah menulis ratusan esai dan artikel di media massa, antara lain Harian Kompas, Majalah Tempo, dan Harian Jawa Pos. Sampai awal 2002, ia telah menulis sekitar sebelas buku, termasuk novel. Satu bukunya berjudul Kang Sejo Melihat Tuhan- mengenai pemahaman tentang Tuhan seorang yang sederhana- mendorong mantan presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjulukinya "Kang Sejo".
Apakah Mohamad Sobary sudah merasa meraih sukses dalam hidupnya? "Sukses dan kegagalan tidak penting, yang paling penting adalah intensitas kita dalam menjalani hidup di tengah kemiskinan, di tengah tekanan politik, ekonomi, sosial," kata lelaki yang dikenal dekat Gus Dur, mantan presiden yang berjasa menempatkannya di Antara.
Sobary suka menonton wayang. "Dunia pewayangan membuka mata saya terhadap realitas hidup kaum rohaniwan," ujarnya. Ia terkesan oleh lakon yang menyindir tingkah laku orang yang sok kiai dan sok pendeta, tapi goyah imannya karena uang dan perempuan.
Di kalangan teman-temannya di LIPI dan Antara, Sobary suka menyalurkan bakat turunan dari neneknya: memijat. "Biasanya, setelah saya pijat, orang yang tadinya sakit akhirnya sembuh," akunya. Untuk menjaga kesehatan, ia suka berenang dan joging tiap pagi, serta pijat-urut. Meskipun sangat sibuk, pengagum karya sastrawan Rusia Tolstoy dan Nikolay Gogol ini biasa mencuri-curi waktu untuk membaca buku. Dengan banyak membaca buku, ia memperoleh masukan pemikiran tentang kemanusiaan, ironi hidup, kegetiran, kesukaan, keputusasaan.
Untuk keluarga, ayah dua anak ini tetap memberikan waktu dan perhatian. Nasihat kepada anak-anaknya: "Jangan berlebih-lebihan. Jangan suka iri pada orang lain. Dan, hidup harus memberi sesuatu kepada orang lain."
|