Nama : MIDIAN SIRAIT
Lahir : Porsea, Sumatera Utara, 12 November 1928
Agama : Protestan
Pendidikan : - SD, Porsea (1942)
- SMP, Balige (1948)
- Kursus Asisten Apoteker, Jakarta (1952)
- SMA-B, Jakarta (1953)
- FIPA UI, Bandung (Sarjana Muda, 1956)
- Universitas Hamburg, Jerman Barat (Sarjana, 1958)
- Universitas Freie, Jerman Barat (Doktor, 1961)
Karir : - Guru SD, Porsea (1945)
- Anggota TKR/BKR/TP Porsea (1945-1949)
- Guru SMA, Jakarta (1951-1953)
- Asisten Apoteker Pabrik Obat Manggarai, Jakarta (1951-1953)
- Asisten Dosen FIPA UI, Bandung (1953-1956)
- Dosen, kemudian Lektor Kepala ITB (1962-sekarang)
- Purek III ITB (1965-1969)
- Apoteker Apotek Surya, Bandung (1968-1978) Ketua Senat Mahasiswa FIPA UI, Bandung (1955-1956)
- Ketua PPI, Jerman Barat (1959-1962)
- Ketua ISFI, Jawa Barat (1965-1969)
- Ketua Umum KASI Bandung (1966)
- Anggota Pembina Pusat ISFI (1969-sekarang)
- Sekretaris Bidang Pemuda Pelajar Mahasiswa Cendekiawan dan Wanita DPP Golkar (1971-1978)
- Anggota Dewan Pembina DPP Golkar (1978-1983), dan AMPI (1983- sekarang)
Kegiatan Lain : - Anggota Dewan Pembina PGRI (1973-sekarang)
Alamat Rumah : Jalan Taman Wijayakusuma D/17, Cilandak, Jakarta Selatan
Alamat Kantor : Jalan Percetakan Negara I/23, Jakarta Pusat Telp: 413605, 415331
|
|
MIDIAN SIRAIT
Hari Minggu 6 Oktober 1965 itu, ia tampak sangat terharu. Itulah saatnya ketika Midian Sirait, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM), menerima medali "Hermann Tomms" dari Perkumpulan Ahli Farmasi Jerman. Diberikan empat tahun sekali melalui penilaian 46 guru besar di Jerman, "Medali ini bukan karena keberhasilan saya, tetapi keberhasilan seluruh rakyat Indonesia," ujar Sirait merendah.
Menjadi Dirjen POM Depkes sejak 1978, Sirait memperkenalkan konsep Daftar Obat Esensial, yakni daftar obat-obat yang harus disediakan di semua unit kesehatan pemerintah. "Ini dalam rangka kebijaksanaan pemerataan pelayanan farmasi," katanya. Ia juga merintis pendirian balai-balai POM untuk tugas pengawasan obat dan makanan yang diperdagangkan di seluruh Indonesia.
Kebijaksanaannya yang lain ialah apa yang disebutnya profesionalisasi pelayanan farmasi. Peranan apotek sebagai unit usaha dagang digeser menjadi tempat pengabdian profesional apoteker. Melalui Peraturan Pemerintah No. 2 s tahun 1980, izin pendirian apotek distribusi obat tidak sampai dikuasai pemilik modal," ujarnya.
Putra pemilik toko kelontong ini menempuh jalan karier yang cukup berliku. Gagal masuk HIS di zaman Belanda, yang menjadi monopoli anak pegawai negeri dan pedagang kaya, Midian terpaksa belajar di sekolah zending, lalu di perguruan swasta yang didirikan ayahnya. Di sinilah si sulung dari delapan bersaudara itu menerima pelajaran sejarah perjuangan bangsa.
Jangan heran kalau pada 1945, setamat Sekolah Teknik dan kursus pendidikan guru, ia bergabung dengan laskar dan turut mendirikan BKR/TKR di Porsea. Merantau ke Jakarta, Midian mula-mula menekuni sekolah asisten apoteker. Setelah tamat, ia masih merampungkan SMA dalam satu tahun. "Usia saya 25 tahun waktu itu," tuturnya sambil tertawa.
Dinilai berbakat, Midian ditarik Prof. Dr. B.S. Goei The, dosen reseptur pada FIPA Ul (sekarang ITB), menjadi asistennya. Supaya tidak janggal, jadi asisten padahal belum mahasiswa, ia pun mengambil kuliah di jurusan farmasi. Tetapi gelar sarjana farmasi diraihnya di Universitas Hamburg, Jerman Barat, 1958 . Di sana, pada 1961, ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi Phytoche~misch Pharmakognotische Untersuchungen Einige Vitex Arten
Dosen llmu Fitokimia dan Farmakologi ITB ini dikenal akrab dengan mahasiswa. Saking akrabnya sehingga saat menjadi Pembantu Rektor Urusan Mahasiswa ia dijuluki "Pembantu Mahasiswa urusan Rektor". Pada masa awal kebangkitan Orde Baru, Midian ikut mendirikan dan aktif memimpin Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia di Bandung.
Menikah dengan Ellen, seorang sarjana sastra Jerman, Midian dikaruniai tiga anak. Waktu luangnya dihabiskannya di meja bilyar atau di kolam renang.
|