Nama : Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri
Lahir : Yogyakarta, 23 Januari 1947
Agama : Islam
Pendidikan : - SD Perguruan Cikini, Jakarta
- SMP Perguruan Cikini, Jakarta
- SMA Perguruan Cikini, Jakarta
- Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967)
- Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta (1970-1972)
Karir : - Anggota DPR/MPR RI (1987-1992)
- Anggota DPR/MPR RI (1992-1997)
- Anggota DPR/MPR RI (1999-2004)
- Wakil Presiden (1999-2001)
- Presiden RI (2001-sekarang)
Kegiatan Lain : - Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
- Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat (1987-1992)
- Ketua Umum DPP PDI (1993-1998)
- Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (1998-2003)
Keluarga : Suami : Taufik Kiemas, menikah pada Maret 1973
Anak : 1. Mohammad Rizki Pratama
2. Mohammad Prananda
3. Puan Maharani
Alamat Rumah : Jalan Kebagusan IV No. 45, Jagakarsa, Jakarta Selatan
|
|
Megawati Soekarnoputri
BUNG Karno dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, menceritakan suasana ketika anak keduanya dari Fatmawati ini lahir: €œDi malam itu guntur seperti hendak membelah angkasa. Istriku terbaring di kamar tidur yang telah disediakan sebagai rumah sakit. Tiba-tiba lampu padam, atap di atas kamar itu runtuh, mega yang gelap dan berat melepaskan bebannya, dan air hujan mengalir ke dalam kamar seperti sungai. €Di dalam kegelapan dengan cahaya pelita lahirlah putri kami. Kami menamakannya Megawati€.€
Meski tak serupa, suasana gonjang-ganjing seperti itulah yang hampir selalu menyertai Megawati dalam merintis karir politiknya. Pada pemilihan umum tahun 1999, partai yang dipimpinnya, PDI Perjuangan, menang meski tidak mayoritas (hanya mengantungi sekitar 30 persen suara). Dan juga karena sistem pemilihan presiden yang tak langsung, melainkan oleh MPR, Megawati pun gagal menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dalam pemungutan suara di Sidang Umum MPR 1999, ia dikalahkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid, calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa, partai pemenang ke-4. Mega kalah: 313 berbanding 373 suara.
Lantas, setelah maju-mundur untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden, berkat serangkaian lobi berbagai pihak termasuk Gus Dur, Mega bersaing dengan Hamzah Haz. Mega menang.
Duet Gus Dur-Mega segera menunjukkan ketidakharmonisan. Presiden Abdurrahman Wahid yang didesak DPR agar membagi wewenang dengan wakil presiden memang melaksanakannya, namun sekadar formalitas. Sarapan pagi yang biasanya dilakukan setiap Rabu di rumah dinas wakil presiden, setelah beberapa kali berlangung, diadakan. Wakil presiden, jarang hadir pada rapat kabinet yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid. Bahkan, dalam upacara pelantikan sejumlah pejabat di kabinet baru, Megawati absen.
Perpecahan presiden dan wakilnya nampak jelas dalam pertemuan partai politik yang digagas Gus Dur di Istana Bogor, pertengahan Juli 2001. Acara ini merupakan upaya meredakan ketegangan politik akibat perseteruan antara pemerintah dan parlemen. Mega, bukan saja tidak hadir, melainkan malah membuat acara sendiri: pertemuan dengan sejumlah pimpinan parpol di rumah pribadinya, di Jalan Kebagusan, Jakarta Selatan. Jelas terlihat, dukungan sebagian besar partai beralih ke Mega. Dengan kata lain, DPR tak lagi mendukung presiden.
Presiden bukannya tak tahu. Di sisi lain, dekrit yang dianggap kontroversial itu juga membuat MPR menggelar Sidang Istimewa (SI) dan mencabut mandat Gus Dur sebagai Presiden. SI MPR 2001 kemudian secara resmi -- pada 23 Juli 2001 -- mengangkat dan mengambil sumpah Megawati Soekarnoputri sebagai orang nomor satu RI.
Ada kenangan indah masa kecil Mega yang direkam ibunya, Fatmawati, dalam bukunya €œFatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno Bagian I€ (Penerbit Sinar Harapan, 1983). Suatu hari, Mega yang sangat suka makan ayam merengek minta lauk itu. Ibunya berusaha menjelaskan, di masa perang waktu itu tidak ada orang yang menjual daging ayam di pasar. Namun ajaib. Baru saja Fatmawati menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seekor ayam terbang masuk ke rumah. Spontan Mega berkata, €œNah, itu ayam!€
Dan juga kenangan pahit. Saat Agresi Militer Belanda I (1947), misalnya, keluarga Soekarno terpaksa hijrah sementara ke Madiun. Setelah aman, mereka baru kembali ke Yogya. Lalu, kala Agresi Militer Belanda II (1948) meletus, Mega kecil harus berpisah dengan ayahnya -- yang bersama Bung Hatta diangkut pasukan Belanda ke Pulau Bangka, Riau. Mega sendiri bersama ibunya dan anggota keluarga yang lain ditawan pasukan Belanda di Yogyakarta.
Sungguh mengharukan, tentu saja. Dan keharubiruan kehidupan Mega rupanya tidak hanya berhenti sampai di situ. Setelah Soekarno jatuh, Mega dan keluarga mendapat cobaan politik yang tak kalah pahit: terasing dari dunia ramai. Ia dan keluarganya hidup dalam kondisi yang tertekan di bawah rezim Soeharto.
Itu belum lagi deretan cobaan hidup lain yang menimpanya. Saat mengandung anak kedua, suami pertamanya -- Letnan Satu (Penerbang) Surindro Supjarso -- hilang dalam kecelakaan pesawat Skyvan T-701 yang dipilotinya jatuh di Biak, Papua Barat pada 1970. Hingga kini jasad Surindro tak pernah ditemukan.
Pada 22 Juni 1972, Mega menikah dengan seorang diplomat Mesir -- yang sedang bertugas di Jakarta -- Hassan Gamal Ahmad Hasan. Namun perkawinan itu kemudian dibatalkan, karena Mega masih terikat perkawinan yang sah dengan Surindro. Waktu itu belum ada kepastian mengenai nasib suami pertamanya itu. Sampai akhirnya pihak Angkatan Udara RI mengeluarkan pengumuman resmi bahwa Surindro telah gugur dalam musibah jatuhnya pesawat itu.
Tak lama berselang, Mega yang pandai menari dan menyukai tanaman ini bersua dengan Taufik Kiemas -- seorang aktivitis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) asal Sumatera Selatan. Mega yang juga pegiat GMNI itu kemudian menikah dengan Taufik. Pasangan ini lalu dikarunia seorang putri nan ayu: Puan Maharani.
Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, sejatinya kiprah Mega dalam dunia politik bisa dikatakan baru. Tepatnya pada 1987. Dan nama Megawati Soekarnoputri mulai muncul ke permukaan sebagai salah satu kandidat ketua umum menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 1993 -- sebagai pengganti Kongres Medan 1993 yang macet. Mega akhirnya terpilih sebagai ketua umum dalam KLB tersebut. Dan statusnya sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998 itu kemudian dikuatkan lagi dalam Musyawarah Nasional (Munas) PDI di Hotel Garden, Kemang, Jakarta.
Sejak terpilih menjadi Ketua Umum PDI, ternyata Mega harus banyak mengurut dada. Ini bukan lantaran penyakit asma, melainkan akibat terpaan berbagai kemelut yang tak kunjung surut menghantam partainya. Puncaknya terjadi pada Juni 1996, ketika bekas Ketua Umum PDI -- Soerjadi -- menggelar Kongres IV PDI di Medan dan menggusur kepemimpinan Mega.
Akan tetapi, Mega dan para pendukungnya tak mudah menyerah atas penggusuran tersebut. Ia tak mengakui Kongres Medan. Karenanya, ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kubu Mega tak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No. 58, Jakarta. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah mengancam akan merebut secara paksa markas PDI tersebut.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Pada 27 Juli 1996, saat matahari belum beranjak tinggi, kelompok Soerjadi benar-benar merebut Kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Bentrokan antara kubu Mega dan Soerjadi pun tak terelakkan. Aksi penyerangan yang menelan banyak korban itu kemudian berbuntut pada kerusuhan massal di Ibu Kota. Hari itu Jakarta membara.
Peristiwa penyerbuan Kantor DPP PDI itu tak menyurutkan langkah Mega dari panggung politik. Malahan, ia kian mantap mengibarkan perlawanan. Akibatnya, PDI pun pecah menjadi dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI di bawah Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai ketua umum yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
Keberpihakan massa PDI kepada Mega semakin terlihat pada Pemilu 1997. Perolehan suara PDI di Bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) -- yang kemudian melahirkan istilah €œMega-Bintang€. Mega sendiri lebih memilih golput pada saat itu.
Gaung Mega sebagai simbol perlawanan rupanya bergema hingga ke negerinya Mahatma Gandhi: India. Lembaga Pryadarshini Academy yang setiap tahun memberikan penghargaan kepada para tokoh internasional, pada 1998 menjatuhkan pilihannya kepada Mega. Dalam wawancara dengan The Times of India (harian terbesar di India), sesaat setelah menerima penghargaan itu di kota Mumbai pada 19 September 1998, Mega mengatakan, €œKalau pemilu nanti berlangsung jujur dan adil, saya kira saya berpeluang memimpin dan memegang kekuasaan di Indonesia€.
Kata-kata Mega itu hampir saja menjadi kenyataan. Nah, akankah Megawati mulus sebagai presiden hingga 2004? Atau, akan diwarnai beragam €œkeprihatinan€ -- yang senantiasa mewarnai perjalanan hidupnya? Entahlah, hanya sang waktu jualah yang bisa menjawabnya.
|