Nama : MARTONO
Lahir : Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah, 17 Mei 1925
Agama : Islam
Pendidikan : - HIS, Karanganyar (1939)
- Sekolah Guru Lanjutan, Yogyakarta (1943)
- Sekolah Guru Teknik, Jakarta dan Yogyakarta (1947)
- Akademi Pendidikan Guru (tidak selesai, 1951)
- Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Leiden, Negeri Belanda (tidak selesai, 1952)
Karir : - Komandan Tentara Pelajar Batalyon 300, kemudian Komandan Detasemen III Brigade XVII (1945-1951)
- Wakil Kepala Bagian Pendidikan Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar Pusat, kemudian Kepala Bagian Kemahasiswaan Jawatan Perguruan Tinggi Departemen P & K (1952-1960)
- Atase Pengajaran pada Kedutaan Besar RI di Tokyo, Jepang (1960-1964)
- Karyawan Sekretariat Jenderal P & K (1964-1965)
- Anggota DPR-RI (1968-1978)
- Menteri Muda Urusan Transmigrasi, kemudian Menteri Transmigrasi (1978-sekarang)
- Wakil Ketua (1964-1982), Pejabat Ketua Umum, kemudian Ketua Umum Pimpinan Pusat Kolektif (PPK) Kosgoro (1982-sekarang)
- Ketua Kino Kosgoro Sekber Golkar (1971-1973)
- Ketua Umum DPP HKTI (1973-sekarang)
- Anggota Dewan Pembina Golkar (1978-sekarang)
Alamat Rumah : Jalan Taman Anggrek M-31, Slipi, Jakarta Barat
Alamat Kantor : Departemen Transmigrasi, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan
|
|
MARTONO
Setelah kembali dari berkeliling di Irian Jaya, Martono mengemukakan ide baru. "Program permukiman penduduk yang kini sedikitnya ditangani oleh empat instansi yang berbeda, sebaiknya ditangani hanya oleh satu departemen, yaitu departemen transmigrasi," katanya. Ide yang dilontarkan awal April 1985 ini belum lagi dibicarakan di tingkat pusat dan, agaknya, membutuhkan waktu.
Menurut Martono, standar permukiman yang berbeda-beda, yang dibangun oleh instansi yang berbeda pula, telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan pemukim, terutama kalau letak proyek itu berdekatan. Selain itu, ia mengajukan ide lain; standar permukiman itu harus disamakan antarinstansi. ; Yang dimaksud empat instansi itu, Departemen Sosial untuk permukiman suku terasing, Departemen Transmigrasi untuk transmigrasi lokal, Departemen Kehutanan untuk resettlement penduduk dari kawasan hutan, dan Departemen Transmigrasi yang menangani program transmigrasi di luar Jawa dan Bali.
Berulang-ulang Martono mengatakan, tugas departemen yang dipimpinnya amat berat. Baginya, pekerjaan ini, "Amat mulia, karena langsung menyangkut kehidupan manusia". Menceritakan pengalamannya menemui para transmigran, Martono menyebutkan, "Kehidupan transmigran cukup mengasyikkan, menggembirakan, dan juga mengharukan." Sebelum memimpin sebuah departemen, dalam kabinet sebelumnya ia menjabat menteri muda transmigrasi.Ia anak sulung dari dua bersaudara. Ayahnya, Abusyukur, seorang guru, meninggal ketika Martono berusia lima tahun. Martono kecil lalu diasuh ibunya, dan disekolahkan di desa kelahirannya sendiri, hingga tamat SD, 1939. Sulit diketahui masa kecil keluarga petani ini, karena Martono, agaknya, enggan mengusik masa lalunya itu.
Yang jelas, ketika pecah Revolusi Kemerdekaan, Martono sekolah sambil bergerilya dalam kesatuan Tentara Pelajar Batalyon 300. Pada saat demobilisasi, ia menjabat komandan Detasemen III Brigade XVII. Martono mengaku pernah kuliah di berbagai fakultas, antara lain di jurusan psikologi Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Leiden, Negeri Belanda. "Tetapi tidak selesai," katanya.
Pernah pula ia bercita-cita menjadi dokter. "Tetapi tidak kesampaian karena kurang biaya," katanya terus terang. Ia segera bekerja sebagai Kepala Bagian C Biro Perguruan Tinggi Departemen P & K di Jakarta, 1954. Enam tahun kemudian, ia diangkat menjadi atase pengajaran pada KBRI di Tokyo, Jepang. Pulang ke tanah air, ia kembali ke Departemen P & K, kali ini diperbantukan pada Departemen Penerangan. Jabatannya, Ketua Badan Sensor Film, hingga 1971.
Sebelum Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai menteri muda urusan transmigrasi dalam Kabinet Pembangunan III, Martono duduk sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Ia adalah Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), sejak organisasi ini berdiri. Jabatan ini tetap dipegangnya, setelah Munas II HKTI bulan April 1984. Ia juga menjabat Ketua Umum Kosgoro menggantikan Almarhum Mas Isman.
Sebagai Ketua Umum HKTI, lelaki berpengawakan gemuk ini dijuluki pendekar kaum tani dalam mempersoalkan tanah pertanian yang mulai berkurang. "Hidup matinya petani bergantung pada tanah," katanya suatu kali. Kemudian ia menyerang orang-orang kota yang menguasai tanah pertanian di desa.
Martono sudah lama meninggalkan makan nasi. "Saya cuma takut buncit," katanya. Sarapannya cukup buah-buahan dan sayur, dan setiap empat jam sekali makanan kecil. Ayah empat anak ini gemar bersepeda dan jalan kaki, didampingi istrinya, Murbani.
|