Nama : MOCHTAR LUBIS
Lahir : Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922
Agama : Islam
Pendidikan : - HIS Sungaipenuh, Sumatera Barat, (1936)
- Sekolah Ekonomi INS Kayutanam, Sumatera Barat (1940)
- East-West Center, Universitas Hawaii, AS
Karir : - Karyawan Bank Factory, Jakarta
- Redaktur Radio Militer Jepang
- Wartawan LKBN Antara(1945)
- Wartawan Harian Merdeka
- Pemred Majalah Mutiara
- Pemred Harian Indonesia Raya
- Pemimpin Umum Majalah Sastra Horison;Presdir Indoconsult
- Penulis/Kolumnis di Kompas, SH, Tempo, Fokus
Kegiatan Lain : - Penerima hadiah Ramon Magsaysay (1958)
- Penerima Hadiah Pena Emas dari World Federation of Editors and Publishers. Aktif di Yayasan Indonesia Hijau
- Associate Editor pada World Paper, Boston, AS
- Dirjen Yayasan Pers Asia, Manila
- Anggota Pacific Community
- Wakil Ketua Akademi Jakarta
- Ketua Dewan Penyantun LBH
- Anggota International Press Institute, London
- Anggota International Association for Cultural Freedom ; Anggota Mondial pour les Etudes Sur le Futur.
Karya : - Si Djamal (1950)
- Jalan Tak Ada Ujung (1952)
- memperoleh hadiah sastra BMKN)
- Tak ada Esok (1950)
- Perempuan, Perempuan (1956)
- memperoleh hadiah sastra BMKN)
- Tanah Gersang (1966)
- Senja di Jakarta(1970)
- Harimau, Harimau, (1977, memperoleh hadiah sastra Yayasan Buku Utama)
- Bromocorah (1979)
- Cinta dan Maut (1979)
- Catatan Subversif (1981)
- Kuli Kontrak (1982)
Alamat Rumah : Jalan Bonang 17, Jakarta Pusat Telp: 881312
Alamat Kantor : Jalan Jenderal Gatot Subroto Kapling 32-34, Jakarta Selatan Telp: 511903
|
|
MOCHTAR LUBIS
Korannya, Indonesia Raya dua kali diberangus, di zaman pemerintahan Bung Karno, dan di zaman Pak Harto. Yang terakhir itu diberangus bersama koran lain setelah peristiwa "Malari", 1974. Di zaman Bung Karno bahkan ia cukup lama meringkuk dalam tahanan. Ketika itu ia mendapat penghargaan Ramon Magsasay dari Filipina -- diambilnya delapan tahun kemudian, setelah bebas dari tahanan. Ketika bekas senator Filipina, Benigno Aquino, tertembak, Mochtar bersama enam cendekiawan lainnya mendatangi Kedutaan Besar Filipina di Jakarta. Ia protes.
Mochtar memang terkenal keras. Mr. Moh Roem pernah berkata, "Mochtar menyebut saya kepala batu. Tapi, dia sendiri kepala granit. Lebih keras dari batu." Namun, ucapan itu bukan pertanda permusuhan, mereka saling mengenal secara mendalam. Keduanya pernah meringkuk di penjara Madiun di zaman pemerintahan Bung Karno.
Lelaki dengan tinggi badan 182 sentimeter ini lahir di Sungaipenuh, Sumatera Barat, merupakan anak keenam dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Raja Pandapotan, adalah seorang demang merangkap mandor perkebunan milik Belanda. "Kalau ada kuli kontrak yang lari, ayah saya yang memukuli," tuturnya mengenang masa mudanya. Karena itu, ayahnya tidak ingin bila anaknya menjadi pegawai pemerintah. Ketika Mochtar ingin menjadi dokter, ayahnya melarang karena toh akan bekerja pada pemerintah (Belanda).Selesai menempuh HIS, empat tahun, Mochtar masuk Sekolah Ekonomi INS di Kayutanam. Dari sana ia kemudian bekerja pada Bank Factory di Jakarta. Di zaman Jepang, ia aktif pada radio militer Jepang, kemudian jadi wartawan. Karier sastrawan ditapakinya dengan buku pertamanya, Si Djamal, 1950. Kemudian Djalan Tak Ada Udjung, 1952.
Sebagai anggota panitia Unesco, setahun empat kali ia ke Paris. Berbagai kegiatan itu menyebabkan ia tidak bergeming ketika korannya diberangus, karena ia masih bisa menulis di mana saja. Ia sering mendapat penghargaan dari tulisannya, termasuk Pena Emas dari World Paper (suatu wadah pemimpin redaksi sedunia).
Baginya, kerja wartawan adalah mencatat dan menuliskan kejadian yang faktual secara obyektif. Maksudnya, pandangan pribadi dan praduga sang wartawan tidak boleh masuk di sana. Ini dipegangnya teguh. Itu sebabnya beberapa karya fiksinya tidak sepenuhnya merupakan imajinasi, tetapi juga mengandung beberapa episode kehidupan nyata yang dilihat dan dialaminya.
Bermain tenis sejak usia 14 tahun, sampai sekarang masih diteruskannya tiga kali sepekan. Ketika dalam tahanan Orde Lama, ia mengenal yoga. Ini pun masih dilakukannya, selain jogging. Ia juga gemar berlatih kungfu. "Bukan untuk cari musuh, tapi untuk kesehatan diri sendiri," katanya. Kegemaran lain, bercocok tanam di rumahnya, Jalan Bonang 17, Jakarta dan di kebunnya, dekat Puncak. Kegiatan itu sering dilakukannya bersama Hally, istrinya, dan ketiga anak serta lima cucunya
|