Nama : MANAI SOPHIAAN
Lahir : Takalar, Makassar, 5 September 1915
Agama : Islam
Pendidikan : - Twede Inlandse School, Takalar (1926)
- Schakel School, (1931)
- MULO, Makassar (1934)
- Taman Guru Taman Siswa, Yogyakarta (1936)
Karir : - Guru Taman Siswa (1937-1941)
- Wartawan kemudian Pemimpin Redaksi Pewarta Selebes (1942- 1945)
- Anggota Dewan Gemeente (1939-1945)
- Anggota BP KNIP (1946-1950)
- Anggota DPR RI (1950-1964)
- Duta Besar untuk Moskow (1963-1967)
- Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia (1954-1959)
- Pemimpin Redaksi Suluh Marhaen (1968-1972)
- Kolumnis harian Merdeka, Indonesian Observer, dan majalah Topik.
Kegiatan Lain : - Sekjen dan kemudian Anggota DPP Partai Nasional Indonesia (1946-1964)
- Anggota Perkumpulan Fotografi Candra Naya, Jakarta.
Alamat Rumah : Taman Wijayakusuma IV No. 35A, Cilandak, Jakarta Selatan Telp: 760647
Alamat Kantor : Jalan A.M. Sangaji 11, Jakarta Pusat Telp: 343334.
|
|
MANAI SOPHIAAN
Sambil menunggu Bung Karno menyampaikan pidato To Build the World Anew di Sidang Umum PBB, 1961, Manai Sophiaan tegak-tegak di lobby. Tiba-tiba seorang lelaki kulit putih menjulurkan tangan dan menyapa, "How do you do, your Excellency?" Melongo, Manai meraba pecinya.
Rupanya, ia disangka Sukarno. "Saya memang selalu memakai peci mirip punya Bung Karno. Ia salah terka," ujar bekas anggota Delegasi RI ke PBB, 1959-1961, itu. Yang menyapa adalah Harold McMilland, Perdana Menteri Inggris 1960-an.
Pengalaman masa kecil di Takalar, desa kelahirannya di Sulawesi Selatan, membentuk pribadi Manai. Serdadu Belanda yang berkuasa di sana sangat kejam. Suatu hari ia melihat seorang anak digantung di pohon. Sejak itu tidak habis-habis dendamnya kepada penjajah. Padahal, ayahnya kepala polisi setempat.
Manai tidak mau menjadi polisi, menuruti keinginan ayahnya. Ia bercita-cita menjadi guru. Selepas Taman Dewasa, ia berangkat ke Yogyakarta, dan masuk Sekolah Guru Taman Siswa. Kembali ke Makassar (Ujungpandang sekarang), ia mengajar di bekas sekolahnya. Ia masih belasan tahun ketika memimpin rapat umum organisasi Indonesia Muda.
Pada akhir penjajahan Belanda sampai pendudukan Jepang, Manai tercatat sebagai Wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) di Makassar. Ia mulai aktif sebagai wartawan freelance -- awal karier jurnalistiknya sampai belakangan memimpin di Jakarta, Suluh Indonesia dan Suluh Marhaen. Bekas anggota BP-KNIP ini kemudian menjadi Sekjen PNI. Ketika menjadi anggota DPRS, namanya populer lewat "Mosi Manai Sophiaan" -- yang menuntut reorganisasi dalam Angkatan Perang RI, dan dihentikannya Misi Militer Belanda.
Kini, Manai Sophiaan yang termasuk penanda tangan Petisi 50 ini memanfaatkan usia bayanya dengan mengisi kolom harian Merdeka, Indonesian Observer, dan majalah Topik. Dari judul- judul tulisannya tercermin semangat nasionalismenya yang belum padam. Misalnya: Negara-Negara Dunia Ketiga Jadi Sapi Perahan Negara-Negara Kaya. Ia juga bisa mengulas bridge, olah raga yang sering dilakukannya.
Manai menderita penyakit Parkinson. Untuk menjaga kesehatan, ia juga melakukan olah raga jalan kaki, atau menggenjot sepeda argo. Dari istrinya, Moenasiah Paiso, ia berputra enam orang. Putra keduanya, Sophan Sophiaan, terjun ke dunia film.
|