Nama : Munir
Lahir : Malang, 8 Desember 1965
Agama : Islam
Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang (S1)
Karir : - Lawyer
- Volunteer LBH Surabaya (1989)
- Ketua LBH Surabaya, Pos Malang (1991)
- Koordinator Divisi Buruh dan Divisi Sipil dan Politik LBH Surabaya (1992-1993)
- Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
- Direktur LBH Semarang (1996)
- Sekretaris Bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1996)
- Wakil Ketua Dewan Pengawas YLBHI (1997)
- Koordinator Badan Pekerja Kontras (1998)
- Ketua Dewan Pengurus Kontras (2000-sekarang)
Kegiatan Lain : - Koordinator Area Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia, Wilayah IV (1989)
- Himpunan Mahasiswa Islam
- Komisi untuk Solidaritas Marsinah
- Koordinator Komite Solidaritas untuk Buruh Surabaya (1994)
- Presidium Nasional Komisi Independen Pemantau Pemilu (1997-2000)
- Dewan Penasihat Simpati, organisasi gerakan menentang diskriminasi terhadap etnis Cina (1998)
- Dewan Penasihat Kompak (1997)
- Pendiri dan Koordinator Komisi Independen Pemantau Pelanggaran Hak Asasi Manusia, 1996. Pada Maret 1998 organisasi ini berubah menjadi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
Penghargaan : - Suardi Tasrif Awards, dari Aliansi Jurnalis Independen, (1998) atas nama Kontras
- Serdadu Awards, dari Organisasi Seniman dan Pengamen Jalanan Jakarta (1998)
- Yap Thiam Hien Awards (1998)
- Leaders for the Millenium dari Asiaweek (2000)
- Man of The Year 1988 dari majalah Ummat
- Satu dari seratus tokoh Indonesia abad XX, majalah Forum Keadilan
- Right Livelihood Awards dari Pemerintah Swedia
- UNESCO-Mandanjeet Singh Prize
Keluarga : Ayah : Said
Ibu : Jamilah
Istri : Suciwati
Anak : Alief Sultan Allende
Alamat Kantor : Jalan P. Diponegero 74, Jakarta 10320
Telepon (021) 3145518
Fax (021) 330140
|
|
Munir
SEJUMLAH aktivis prodemokrasi diculik aparat menjelang Soeharto tumbang, awal 1998. Munir terkena dampaknya: ngetop! Sosoknya kerap muncul di layar televisi dan media cetak: tubuh kecil, rambut pirang, gaya bicaranya lugas dan tegas. Pengacara berambut agak pirang ini, saat itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Organisasi ini getol melakukan advokasi korban penculikan. Maka, Munir dan kawan-kawan kerap berhadapan dengan petinggi militer.
Risikonya, ia sering menerima teror. Tapi, Munir seakan tak peduli. €œRisiko paling berat sudah kita hitung. Kalau tidak diculik, ya, dipenjarakan,€ kata Munir.
Pria berdarah campuran Jawa-Arab ini berasal dari keluarga pedagang, sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Sejak kecil Munir terbiasa mandiri, ikut berjualan sepatu sepulang sekolah. Ia tumbuh dalam keluarga yang egaliter€”menghargai persamaan di antara saudara-saudaranya. Ayahnya, Said (almarhum), pemeluk Islam yang taat tapi tidak kolot cara berpikirnya. Ibunya, Jamilah, sangat toleran terhadap orang lain, termasuk kepada etnis Cina. Saat terjadi kerusuhan anti-Cina, 1979, yang dampaknya sampai ke Malang, ibunya menghadapi penduduk yang mengepung rumah Cina, tetangganya. €œHal itu tetap membekas dalam pikiran saya,€ ujar Munir.
Suatu ketika Munir kecil dimarahi habis-habisan oleh ayahnya hanya karena mengelus dan membelai mobil orang. Sang ayah melarang mengagumi kekayaan orang lain. Karena, menurut sang ayah, hanya dia yang paling kaya, meskipun hanya mempunyai ilmu.
Ada pengalaman yang tak pernah dilupakan. Waktu itu Munir masih SMP. Seorang ibu, tetangganya, hidup seorang diri. Tiap hari Munir diminta ibunya mengantarkan makanan. Suatu hari ibu itu ditemukan tewas dengan leher bersimbah darah. €œSaya lari ke rumah. Polisi datang dan mewawancarai semua orang yang melayat. Gara-gara peristiwa itu saya ketakutan setengah mati: jangan-jangan si pembunuh tahu saya yang melaporkan ke polisi,€ tutur Munir. Kasus itu dihentikan penyidikannya karena korban tidak punya keluarga.
Ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, ia tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Walau demikian, ia kerap berbeda pendapat dengan rekan-rakannya. Bahkan, Munir dianggap mengingkari korps,€ tutur suami dari Suciwati ini.
Ketertarikannya pada perburuhan dimulai ketika akan menyusun skripsi. Ia banyak berdiskusi dengan buruh pabrik rokok di Malang. Setelah lulus, Munir masuk Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, dan menangani perburuhan.
Suatu ketika, buruh sebuah pabrik mogok. Aktivis buruh, Suciwati, memimpin aksi dan ditangkap. €œSaya yang mengurusinya. Dan, saya mendapatkan hal yang sama dengan dia: kami bersimpati terhadap nasib buruh,€ tutur Munir.
Hubungan berlanjut sebagai rekan dalam penelitian tentang perburuhan, 1992. Pucuk dicinta ulam tiba. €œPada tahun 1995 kami memutuskan kawin,€ kata Munir, mengenang. Dari perkawinan itu, Munir dikaruniai anak: Alief Sultan Allende, yang artinya pemimpin nomor satu.
Perjalanan karir Munir termasuk cepat. Awalnya sebagai volunteer di LBH Surabaya, 1989, tujuh tahun kemudian Munir menjabat Direktur LBH Semarang. Tak lama kemudian, ia berkiprah di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, sampai terakhir menjadi wakil ketua dewan pengurus. Selama menjadi pengacara, puluhan kasus turut dia tangani, antara lain kasus Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Muchtar Pakpahan.
Munir sering memperoleh penghargaan, tidak hanya dalam negeri, tapi juga penghargaan internasional. Beberapa penghargaan untuk organisasi yang dipimpinnya, Kontras. Dan sejumlah penghargaan untuk Munir pribadi yakni UNESCO-Mandanjeet Singh Prize, akhir 2000 lalu, dan Right Livelihood Award dari Pemerintah Swedia, senilai Rp 1,6 miliar, atas dedikasinya dalam perjuangan untuk hak asasi manusia.
|