Nama : MOHAMAD KHARIS SUHUD
Lahir : Madiun, Jawa Timur, 10 April 1925
Agama : Islam
Pendidikan : - HIS (1938)
- MULO-B (1941)
- AMS-B (tidak selesai, 1942)
- Kursus Stations Commies (1945)
- SSKAD Angkatan IV (1955)
- US Army Liaison School, Hawaii (1959)
- US Army Command & General Staff College, AS (1962)
- US Army Intelligence School, Fort Holabird, AS (1962)
- Senior Officer Preventive Maintenance, AS (1962)
Karir : - Korektor surat kabar Asia Raya, Jakarta (1942-1943)
- Anggota BKR Jakarta Raya (1945)
- Komandan Kompi 3 Yon XII Divisi Siliwangi (1947-1948)
- Dan Yon 326 Kodam Siliwangi (1950-1953)
- Penjabat, kemudian Kepala Staf Garnisun Bandung (1953-1957)
- Dosen SSKAD/Seskoad (1956-1957 dan 1962-1964)
- Kepala Staf Umum 1 (1957-1961)
- Wakil Direktur Intel Staf Angkatan Bersenjata (1964-1965)
- Wakil Asisten I Kasad (1965-1967)
- Atase Militer RI di Washington DC, AS (1967-1970)
- Asisten I/Pam Kasad (1970-1971) ; Ketua G-1/Intel Hankam merangkap Asisten Intel Kopkamtib (1971-1974)
- Ketua Misi Garuda pada ICCS, Vietnam (1974-1975)
- Duta Besar RI untuk Muangthai merangkap wakil tetap RI pada ESCAP (1975-1978)
- Kepala Staf Kekaryaan Hankam (1978-1983)
- Anggota MPR RI (1980-sekarang)
- Wakil Ketua DPR/MPR RI merangkap Ketua Umum Fraksi ABRI (1982-sekarang)
Kegiatan Lain : - Ketua Delegasi Indonesia pada AIPO (1982- sekarang)
Alamat Rumah : Jalan Patiunus 14, Kabayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 774028
Alamat Kantor : Gedung DPR/MPR RI, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Telp: 5801317
|
|
MOHAMAD KHARIS SUHUD
Cita-cita masa kecilnya ingin menjadi dokter atau insinyur, di samping tentara. Tetapi pecahnya Perang Dunia II, saat M. Kharis Suhud di kelas II AMS-B (SMA Paspal), membuyarkan dua cita-citanya yang pertama. Menjadi anggota laskar di masa Revolusi memberi jalan kepadanya masuk tentara, sampai berpangkat letnan jenderal. Dwifungsi ABRI mendudukkannya sebagai Wakil Ketua DPR.
Ada dua peristiwa mengesankan ketika ia menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berpangkalan di sekitar Jakarta. Suatu kali, dalam long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat, pasukannya tiba di Majalengka. Letih dan tertidur, Kharis tercecer dari rombongan induk. Dan begitu terbangun, ia sudah terkepung pasukan Belanda. Tidak ada jalan baginya kecuali nekat melarikan diri.
Kemudian, kembali dari menyerang Sumedang, lagi-lagi ia tertinggal karena ketiduran. Celakanya, begitu terbangun, kaca mata minusnya pecah. Tetapi ia tenang-tenang saja, karena di kejauhan ia masih melihat segerombolan orang yang disangka temannya. "Tidak tahunya tentara Belanda," tutur Kharis. "Dengan sigap saya melompat ke semak-semak. Dengan lindungan- Nya, saya masih hidup."
Kharis sudah piatu sejak usia empat tahun. Ia lalu diasuh neneknya di Kota Madiun. Dengan dampingan ayahnya, seorang guru SD, anak yang bersaudara dua orang itu hampir selalu menduduki peringkat atas di sekolahnya. Rampung SD, ia pindah ke Jakarta -- tempat ia menjalani pendidikan menengah sampai pecahnya Perang.
Ketika SMA-nya terhenti, Kharis bekerja sebagai korektor pada redaksi surat kabar Asia Raya, yang sebelumnya bernama Berita Umum. Suatu kali ia bentrok dengan pimpinan berkebangsaan Jepang surat kabar tersebut, dan ia mengundurkan diri pada 1943. Ia lalu bekerja sebagai pengatur lalu lintas kereta api di Pegadenbaru, di pinggiran Jakarta, sampai 1945.
Seiring dengan kariernya yang meningkat terus, pada 1960-an Kharis pernah mendapat kesempatan belajar di AS. Pada 1974, ia bertugas sebagai ketua Misi Garuda di Vietnam, disusul menjadi duta besar di Muangthai. Pada 1982, ia terpilih sebagai Wakil Ketua DPR/MPR merangkap Ketua Fraksi ABRI.
Kharis juga aktif dalam pertemuan-pertemuan Organisasi Antarparlemen ASEAN (AIPO). Memimpin delegasi Indonesia dalam dialog AIPO dengan parlemen Eropa, 1985, ia berhasil melawan tuduhan parlemen Eropa bahwa Indonesia diperintah rezim militer, dan mencegah campur tangan mereka terhadap pelaksanaan hukuman mati tokoh-tokoh G-30-S/PKI.
Karena kesibukannya, ia kini hanya kadang-kadang saja bermain golf di Padang Golf Rawamangun, Jakarta. "Saya tidak boleh membungkuk, dan meloncat," tutur Kharis yang sejak 1972 melakukan salat dengan sikap berdiri. Laki-laki tegap -- berat 72 kg, tinggi 164 cm -- ini rajin membaca buku politik. Ayah empat anak ini tidak mungkin bisa melupakan nasib almarhum ayahnya, yang diculik dan dihabisi PKI dalam Peristiwa Madiun, 1948.
|