Nama : Medijanti Loekito
Lahir : Surabaya, Jawa Timur, 21 Juli 1962
Agama : Islam
Pendidikan : - SD Santa Maria II, Malang, Jawa Timur
- SMPN 40, Jakarta
- SMU Fons Vitae (Marsudirini), Jakarta
- Jurusan Pariwisata Universitas Trisakti, Jakarta (1984)
Karir : - Menulis puisi, cerpen, dan esai sejak 1978, di Horison, Seloka, Romansa, Gamma, Mitra Budaya, Sastra, Pelangi, Bahana, Kompas, Indonesia Times
- Ikut dalam sejumlah antologi puisi bersama di dalam dan luar negeri
- Menulis kata pengantar antara lain untuk buku Dua Tengkorak Kepala karya Motinggo Busye
- Penelitian bersama tentang Pemetaan Komunitas Sastra di Jakarta, Bogor, Tengerang, dan Bekasi
- Tercatat dalam International Who's Who in Poetry and Poets Encyclopedia, The International Biographical Center, Cambridge, Inggris (1999)
- Tergabung dalam Poet 2000 Sculpted Library, Dublin, Irlandia (2000)
- Wakil Republik Indonesia untuk Conference of Asian Foundation & Organizations, bidang kebudayaan (1999, 2000, 2001)
- Wakil Republik Indonesia untuk International Writing Program, Iowa City, AS (2001)
Kegiatan Lain : - Research Board of Advisors The American Biographical Institute, AS (1999)
- Dewan Pendiri Komunitas Sastra Indonesia; - Dewan Pendiri Organisasi Pembina Seni
- Dewan Pendiri dan Presiden Yayasan Multimedia Sastra
- Executive secretary di Shimizu Corporation (1985 €“ sekarang)
Karya : - In Solitude, Penerbit Angkasa, Bandung (1993)
- Jakarta Senja Hari, Penerbit Angkasa, Bandung (1998)
Penghargaan : - Semifinalis North American Open Poetry Contest, AS (2000)
- Semifinalis Montel Williams Open Poetry Contest, AS (2000)
Keluarga : Ayah : Karel Loekito
Ibu : Mariati
Suami : Asmian Asnawi
Anak : 1. Asvega
2. Asriza
Alamat Rumah : Jalan Pulo Asem Utara XII/ 27, Jatirawamangun, Jakarta Timur 13220
HP 0811164310
Alamat Kantor : Midplaza II, Lantai 4, Jalan Jenderal Sudirman, Kav. 10-11, Jakarta Pusat
|
|
Medy Loekito
Lepas terbang membenam jalaku/ Kala malam-malam menyita bayang. Demikian salah satu bait puisi Medy Loekito. Ciri puisinya pendek, simple €“ ada yang menyebutnya mirip haiku dari Jepang. Ia sendiri bilang, €œPuisi saya, puisi 'diam'.€ Bukan puisi protes. Karenanya, diskriminasi yang dialami lantaran ia keturunan Cina tak pernah muncul dalam puisi-puisinya. €œSelain pahit, juga tidak indah untuk dikenang,€ ujar perempuan yang lengkapnya bernama Medijanti Loekito ini.
Dalam mencipta, ia tidak ngoyo. €œKalau mau nulis, ya nulis. Kalau enggak ingin, ya enggak ingin,€ ujar Medy. Walau begitu, ia cukup produktif. Paling tidak ia sudah menerbitkan dua buku antologi tunggal, juga mengikutkan karyanya di sejumlah antologi baik di dalam maupun luar negeri. Belum lagi karya-karyanya yang tersebar di berbagai media massa.
Sebagai penyair, ia sudah berkiprah di tingkat internasional, antara lain pernah mewakili Indonesia untuk Conference of Asian Foundation & Organizations, bidang kebudayaan, selama tiga tahun berturut-turut. Terakhir, ia mengikuti International Writing Program, Iowa City, AS, 2001. Sebelumnya, Medy menyertai North American Open Poetry Contest, 2000, di Amerika Serikat.
Sebenarnya, jadi penyair bukanlah cita-citanya. Waktu kecil Medy ingin menjadi dokter hewan, karena keluarganya pencinta binatang. Tapi setelah lulus SMA, ia menyadari bahwa menjadi dokter hewan itu tidak gampang. Lagi pula anak ketiga dari empat bersaudara ini berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya pegawai swasta, ibunya penjahit. Untuk melanjutkan sekolah, sang ayah berusaha mencarikan beasiswa. Masuk Universitas Trisakti, ia tidak memilih jurusan kedokteran hewan, melainkan pariwisata. Akhirnya Medy melupakan cita-citanya. Dia juga tidak menjadi pemandu wisata atau pegawai hotel.
Menulis puisi pada awalnya cuma iseng bagi Medy. Kala itu 14 tahun usianya. Atas dorongan Kardi Said, penyair asal Aceh yang kini sutradara film, ia mengirimkan puisinya ke koran dan dimuat. €œSaat itu aku tidak ada ambisi ingin jadi penulis atau penyair terkenal; hanya ingin dimuat,€ tutur Medy. Ayahnya, walau tidak setuju anaknya jadi seniman€”karena image seniman hidupnya melarat€” namun selalu membeli koran yang memuat puisi Medy.
€œSastrawan adalah profesi yang sangat menyenangkan,€ kata Medy. €œSelain kita bisa mengeluarkan unek-unek dan dibaca orang, kita mesti membekali diri dengan banyak membaca dan ikut diskusi,€ ungkapnya. Sebagai penggiat sastra, ia prihatin dengan apresiasi masyarakat terhadap bidang seni ini. €œApresiasi masyarakat kita sangat parah,€ katanya. Ia mempersalahkan sistem pengajaran sastra di sekolah yang hanya menghafal, tidak mengapresiasi.
Untuk itu, ia turut bergiat dalam pengembangan sastra, antara lain dengan mendirikan Komunitas Sastra Indonesia dan Yayasan Multimedia Sastra yang kegiatannya meluncurkan situs sastra, menerbitkan buku sastra dan menyumbangkannya ke sekolah-sekolah dan anak-anak jalanan.
Pada 1985, Medy menikah dengan Asmian Asnawi, sarjana teknik yang karyawan pabrik tiang pancang. Pasangan ini dikaruniai dua anak. Walau bukan orang sastra, suaminya sangat mendukung aktivitas kesastraan Medy. Kepada anaknya, €œAku beri mereka kebebasan untuk bicara dan menjadi diri sendiri,€ ujarnya. Anak pertamanya, Asvega, pelukis yang kini mendapat beasiswa SMU di Singapura.
Hobinya traveling. Di waktu senggang, Medy biasa bermain dengan anak atau menemani suami memancing.
|